Ketika Cucu-Cucu Pramoedya Ananta Toer Membuat Band Tetralogiska

Cara yang dipakai Aditya Prasstira untuk mengenang kehebatan sang kakek, sastrawan kenamaan Pramoedya Ananta Toer, sungguh unik. Dia membentuk band yang khusus menyanyikan lagu-lagu dengan tema buku-buku novel karya sang legenda sastra Indonesia itu.

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

KENANGAN pada Minggu pagi, 30 April 2006, itu sulit hilang dari benak Aditya Prasstira. Di pinggir tempat tidur sang kakek, dia ikut “mengantar” sastrawan Pulau Buru tersebut menghadap Sang Khalik. Duka yang amat dalam menyesakkan dada pria 24 tahun itu.

Adit -panggilan Aditya- memang terus berada di samping Pramoedya selama masa kritis. Bahkan, saat sakratulmaut, dia turut menyaksikan kakeknya mengembuskan napas terakhir.

Adit memang sangat dekat dengan Pram, sapaan akrab Pramoedya. Itulah kenapa beberapa hari pasca meninggalnya sang kakek, masih terlihat kabut duka pada dirinya. Waktu-waktu berkabung itu lantas dia gunakan untuk bermain gitar.

Rasa rindu, cinta, dan kekaguman terhadap Pram tersebut kemudian dia wujudkan menjadi sebuah lagu berjudul Sang Pramoedya. Lagu itu menceritakan bagaimana sosok Pram di mata Adit.

“Kedekatan saya dengan opa (begitu Adit memanggil Pram, Red) tidak lagi hanya seperti kakek dengan cucu. Tapi, kami layaknya teman dekat,” kenang Adit saat ditemui di Seven Eleven Pasar Festival Kuningan Senin lalu (11/6).

Karena itu, sepeninggal sang kakek, Adit merasa punya tanggung jawab moral untuk terus menjaga karya-karya Pram agar tetap eksis. Jangan sampai meninggalnya Pram ikut mengubur ratusan karya sastranya. Namun, Adit mengaku bingung harus berbuat apa untuk mengenang dan menjaga eksistensi karya Pram. Dia sendiri tidak bisa membuat karya sastra sehebat karya kakeknya.

Maka, setelah berpikir keras, akhirnya ditemukanlah cara untuk “menjaga” buah pena penulis novel masterpiece Bumi Manusia itu. “Lewat band dan musik,” tegas salah seorang di antara tujuh cucu Pram tersebut.

Adit memang punya minat di jalur seni itu. Bahkan, mahasiswa Universitas Persada Indonesia YAI tersebut dulu sering mengiringi kakeknya saat tampil dalam pertunjukan sastra. Maka, bersama empat saudaranya (juga cucu Pram), Adit membentuk grup band yang kemudian diberi nama Tetralogiska pada 2008. Nama itu mengacu pada karya monumental Pramoedya, tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Penghobi fotografi tersebut lantas menceritakan kenapa menggunakan nama Tetralogiska untuk nama bandnya. “Kami pilih tetralogi karena terinspirasi perjuangan opa selama di penjara Pulau Buru,” tandasnya.

Seperti diketahui, Pramoedya melahirkan tetralogi saat mendekam di penjara Pulau Buru. Empat buku yang ditulis pada 1970-1980 itu mengisahkan munculnya pemikiran politik etis dan awal periode kebangkitan nasional.

Namun, setahun setelah buku pertama, Bumi Manusia, terbit pada 1980, rezim Orde Baru (Orba) melarang peredaran buku tersebut. Sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, itu dianggap mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme, Leninisme, dan komunisme. Padahal, ajaran yang dituduhkan tidak disebut sama sekali dalam mahakarya itu kecuali nasionalisme.

Meski begitu, sebelum dilarang, buku tersebut telah dicetak ulang hingga sepuluh kali. Buku itu sukses besar di pasar karena dianggap sebagai pendobrak kebuntuan kebebasan orang bersuara. Setelah Orba tumbang, buku tersebut bebas beredar kembali. Bahkan, hingga 2005 buku itu telah diterbitkan dalam 33 bahasa. “Kasarnya, karya opa sudah besar dan tidak perlu kami promosikan lagi. Tapi, karya itu harus dijaga agar tetap eksis,” tutur Adit.

Dengan musik, Adit dkk ingin mengajak anak-anak muda untuk menyenangi dunia sastra. Sebab, dia tidak begitu yakin anak-anak muda sekarang mau membaca karya-karya sastra berbobot seperti karya opanya.

Meski sudah berformat band, ternyata Adit cs belum terlalu serius terjun ke dunia musik. Hingga pada November 2010, seorang kawannya, Inggit Suci Lestari, bergabung dan mengajak untuk lebih intens bermusik. Akhirnya Adit dan Inggit bersama-sama menggarap lirik lagu-lagu yang diciptakan sekaligus menjadi komposernya.

“Pada 19 Januari 2011 kami mulai berani masuk studio rekaman,” kata Inggit.

Meski bukan cucu Pram, Inggit termasuk penggemar berat sastrawan yang keluar masuk penjara karena karya-karyanya yang dianggap “kiri” tersebut. Karena itu, dia amat senang bisa bergabung di band tersebut. Apalagi, dia bertemu Adit yang punya keahlian dalam membuat lirik-lirik lagu berdasar karya sastra opanya.

Dalam perjalanan, band itu akhirnya mempunyai sembilan personel, lima di antara mereka adalah cucu Pram sendiri. Mereka adalah Adit (vokal), Derry Prasstira (drum), Vicky Septian Rachman (midiboy), Angga Okta Rachman (gitar), dan Chyndhy Fernanda (kibor). Sedangkan empat anggota lainnya yang bukan cucu Pram adalah Inggit Suci Lestari (vokal), Dennis Pupu Tata (vokal), Alfian (lead guitar), dan Abdul Muiz (bas).

Selama tiga bulan mereka ngebut membuat album perdana. Tujuannya mengejar peringatan lima tahun meninggalnya Pramoedya. Ya, Tetralogiska ingin album perdana bertajuk Ciptakan Sejarah itu di-launching bersamaan dengan peringatan tersebut. Dan, sesuai target, album itu pun selesai pada akhir April 2011.

“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia mati meninggalkan sejarah. Itu kenapa kami beri judul album ini Ciptakan Sejarah,” tambahnya.

Lantas apa genre musiknya? Dengan tersenyum lebar, Adit dan Inggit kompak menjawab tidak ada. Mereka lebih suka menyebut aliran musik mereka dengan tetrafonik. Tidak ada batasan genre musik. Alasannya, ada sebuah pesan yang ingin disampaikan. Kalau itu tersekat genre, mereka khawatir pesan tersebut tidak sampai ke pendengar lagunya.

Karena itu, telinga pendengar Tetralogiska harus membiasakan diri saat irama demi irama berganti. Mereka tidak canggung mencampuradukkan rock, funk, bahkan hip-hop. Meski demikian, suara berat Adit dan aransemen Inggit yang pas membuat musik mereka asyik didengar.

Meski begitu, semua lirik lagu Tetralogiska mengacu pada karya sastra bikinan Pram. Bahkan, mereka juga menyelipkan kutipan karya Pram dalam lirik lagu-lagunya. Misalnya, dalam lagu Bumi Manusia, Adit memasukkan ucapan Minke, tokoh utama dalam novel dengan judul yang sama. Bunyinya: Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya. Ungkapan itu terdapat dalam halaman 135 novel tersebut.

Gaya bertutur mereka juga banyak menggunakan kata-kata dalam buku Pram. ”Sampai ada teman bilang, lirik loe berat banget,” kata Inggit lantas cekikikan.

Ada enam lagu dalam album perdana Tetralogiska. Yakni, Sang Pramoedya, Ciptakan Sejarah, Tidak Turun dari Langit, Bumi Manusia, Ibunda, dan Anak Tumpah Darah. ”Pram sudah menjadi arwah band ini. Seperti air di tubuh manusia, kalau nggak ada air, kita nggak bisa jalan,” tambah perempuan kelahiran Bogor, 17 Januari 1985, itu.

Meski demikian, masih banyak yang memandang sebelah mata terhadap Tetralogiska. Mereka dianggap mendompleng ketenaran Pramoedya Ananta Toer. Tapi, mereka cuek saja. Toh, ada juga yang angkat topi terhadap cucu-cucu sang maestro sastra itu. Mereka juga suka buku Pram ”dimusikkan”.

”Lewat generasi kedua ini, kami ingin menyampaikan pesan sastra Opa melalui lisan,” terang Adit yang merupakan cucu Pram dari pasangan Judistira Ananta Toer-Euis Trina Dewi.

Karena itu, mereka tidak terlalu memedulikan masalah honor setiap tampil. Inggit menyebut misi mereka saat ini adalah apresiasi. ”Jadi, kami membuang jauh-jauh soal bayaran.”

Perjuangan untuk memberikan warna baru bagi penggemar Pramoedya itu juga bukan tanpa liku. Derry Prasstira, adik Adit, ingat betul, awal-awal perjalanan Tetralogiska ibarat kerja bakti. Semua dilakukan sendiri atas dasar persaudaraan dan penghargaan untuk sang kakek, Pramoedya Ananta Toer. Mulai saat rekaman, burning lagu ke dalam compact disc, mendesain album, printing cover CD, menempel, memotong hasil print, hingga pemasaran. Hingga kini, mereka juga tidak punya manajer yang jelas untuk menangani semuanya.

”Kami bekerja keras bersama-sama. Mungkin kelak ada manfaatnya,” tutur Derry.

Dia sangat senang karena anggota Tetralogiska sejauh ini bisa memegang komitmen. Padahal, dia tahu, menyatukan sembilan kepala manusia tidaklah mudah. Hanya lantaran latar belakang yang sama, yakni keturunan dan penggemar Pramoedya-lah, yang membuat anggota band tersebut makin kompak.

”Kalau berantem, juga cepat akur lagi. Sebab, pada dasarnya, kami sudah dekat,” tegasnya. (*/c9/c5/ari)

Leave a Reply