Catatan: Opini ini sudah dimuat di harian Jawa Pos edisi Senin, 22 Agustus 2016.
SIAPA yang tidak terpukau dengan iPhone. Minggu kedua September nanti, rencananya Apple akan merilis ponsel baru yang rencananya diberi nama iPhone 7. Mahal sudah pasti. Tapi bukan orang Indonesia namanya kalau dikalahkan oleh harga. Meski, kemungkinan besar versi resminya tidak akan muncul di tanah air.
Lho kok gitu? Iya, nasib ponsel pintar dari perusahaan yang bermarkas di Cupertino, California itu bisa jadi seperti seri iPhone 6s, dan iPhone SE yang keluar April lalu. Produk itu tidak ditemukan di premium reseller Apple. Seri tertinggi adalah, iPhone 6.
Ngawur ah, buktinya banyak yang jualan seri 6s dan SE. Betul, tapi itu dibawa oleh distributor di luar premium reseller yang diakui Apple. Proses masuknya ke Indonesia juga resmi karena sudah memiliki cap DJPT (direktur jenderal pos dan telekomunikasi) walau belakangan sering dipalsu juga. Duh!.
Premium reseller tidak bisa sebebas distributor untuk membawa masuk ponsel terbaru karena harus tunduk dengan aturan yang berlaku. Salah satunya, soal kewajiban Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) ponsel 4G. Jadi, ponsel 4G yang dijual di Indonesia tidak boleh mentah-mentah impor.
Apple yang belum memiliki kantor atau pabrik di Indonesia jelas kesulitan memenuhi ketentuan 20 persen kandungan lokal yang berlaku saat ini. Apalagi, mulai awal 2017 TKDN meningkat jadi 30 persen. Sebenarnya, tidak hanya Apple, produk lain juga bisa kelimpungan masuk secara resmi ke Indonesia.
Beberapa vendor ada yang mencoba mengakali menjual ponselnya dengan menidurkan kemampuan 4G-nya. Contoh paling nyata, terjadi pada ponsel seri Redmi Note 3. Ponsel yang masuk dengan ROM global terbaru tidak akan menemukan jaringan 4G dan mentok di HSDPA.
Buat yang berani utak-atik sih, tidak masalah. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengaktifkan jaringan 4G. Tamparan aturan TKDN juga membuat vendor seperti OnePlus memilih untuk hengkang dari Indonesia. Jadi, bisa dipastikan ponsel seri terbarunya OnePlus 3 tidak masuk secara resmi.
***
Bagi pabrikan ponsel yang sudah punya pabrik di Indonesia seperti Samsung tentu tidak ada masalah dengan TKDN. Bagi ponsel yang mampu mengatasi TKDN, tentu lebih mudah dalam menjual ponselnya di Indonesia. Keberadaan pabrik mereka juga menambah lapangan kerja di Indonesia.
Tapi, bagi pengguna yang selalu penasaran dengan teknologi baru di ponsel dari berbagai vendor tentu akan bersungut. Sebab, tidak semua ponsel baru 4G akan masuk secara resmi. Pilihan akhirnya jatuh ke distributor yang kalau rusak, ya diservis di tempat seadanya meski digaransi setahun.
Lantas, bagaimana memahami TKDN? Ada beberapa ketentuan yang bisa membuat suatu ponsel dinyatakan lolos kandungan dalam negeri. Bagi vendor baru, bisa menanamkan investasi sebesar Rp 550 miliar sampai Rp 700 miliar yang setara TKDN 30 persen. Kalau lebih dari Rp 1 triliun, TKDN-nya setara 40 persen.
Selain itu, bisa dengan kepemilikan server di dalam negeri seperti yang selama ini didengungkan pemerintah. Cara lain, melalui bobot manufaktur hardware dan software. Tentu saja, semakin banyak komponen lokal yang terlibat dalam ponsel akan meningkatkan TKDN. Ini berdampak positif pada penjualan perangkat elektronik dalam negeri.
Untuk software, nantinya akan lebih banyak aplikasi dan game lokal yang ada dalam ponsel resmi. Ini menguntungkan pengembang dalam negeri yang selama ini kurang mendapat panggung. Apalagi, aplikasi dan game lokal harus memiliki server, toko online, dan proses injeksi yang semuanya dilakukan dalam negeri.
***
Ada pentingnya untuk mendukung penerapan TKDN karena memberikan kesempatan bagi pertumbuhan industri ponsel dalam negeri. Sebab, ponsel mulai dirakit dalam negeri. Tidak percaya? Data menunjukkan impor ponsel pada 2014 mencapai 60 juta unit, dan 2015 turun menjadi 26 juta unit.
Di kuartal pertama tahun ini, impor ponsel jadi 6,5 juta unit. Makin ketatnya TKDN memang berujung pada ponsel-ponsel terbaru sulit masuk Indonesia. Tapi, lihat jangka panjangnya. Harga ponsel di Indonesia akan turun dibandingkan dengan luar negeri yang selama ini kerap dianggap lebih murah.
Contoh termudah Samsung Galaxy Note 7 yang pre order-nya dibanderol SGD 1,168 di Singapura. Jika nilai tukarnya Rp 9.805 per SGD, berarti harga di Singapura Rp 11,4 juta. Di dalam negeri, karena sudah dibuat di Indonesia, harganya Rp 10.777.000.
Jadi, kalau TKDN sudah bisa diterapkan secara tegas, maka ponsel premium yang terjual di Indonesia seperti iPhone bisa lebih murah dari saat ini. Apakah mungkin para vendor mau mentaati? Harusnya mereka mau. Sebab pasar di Indonesia begitu besar.
Dhimas Ginanjar
Wartawan Jawa Pos, penyuka dan pengguna teknologi