MASIH segar di ingatan saya ketika kali pertama memegang novel Lupus saat SMP. Itu sekitar tahun 1999. Ketika saya bermain ke rumah Lingga. Novel Lupus berjudul Idiiih Udah Gede itu ada di kamarnya. Tertata bersama komik lain.
Biasanya saya ke sana untuk menumpan membaca koran Jawa Pos atau ngadem di rumahnya yang ber-AC. Tapi, siang itu Lingga ngasih Lupus untuk dibaca. Katanya, novel itu bagus, anak muda banget, dan ceritanya enak dibaca karena ringan.
Selain Idiiih Udah Gede, ada judul lain di rumahnya. Judulnya, Interview With The Nyamuk. Sejak berkenalan dengan judul itu, saya jadi ketagihan dengan Lupus. Jadinya, tiap ke Gramedia, selain membeli komik Dragon Ball, Lupus jadi pilihan.
Kalau diingat-ingat, saya punya seluruh novel Lupus. Bahkan seri lain seperti Lupus Kecil dan Lupus ABG. Dua seri itu jadi bacaan sampingan. Yang paling favorit tentu saja novel utama Lupus yang akhirnya diangkat menjadi sinetron Lupus Milenial dengan tokoh utama Irgi A. Fahrezi dan Mona Ratuliu.
Seluruh novel itu sekarang ada di Gresik. Rumah orang tua saya. Tapi, tak lagi komplit. Saat Hilman Hariwijaya, penulis Lupus itu meninggal, saya meminta adik untuk memotret koleksi. Ternyata, sisa 12.
***
Ada dua hal yang membuat saya suka novel Lupus. Pertama, Hilman menciptakan karakter Lupus yang dekat dengan secara emosional. Saya dan Lupus sama-sama remaja. Bedanya, Lupus sudah SMA, dan saya masih SMP. Sebagai remaja yang juga mau SMA, hari-hari Lupus makin terasa dekat.
Kedua, adalah cara Hilman menceritakan keseharian Lupus. Dia menulisnya dengan ringan, komedi, dan dengan bahasa yang sesuai anak muda. Selain itu, Hilman juga suka menjadikan Lupus sebagai sarana menceritakan pengalaman dia. Itu membuat Lupus bukan hanya tokoh fiktif dengan full cerita fiktif.
Saya yang saat itu jarang membaca novel karena lebih memilih komik, jadi punya bacaan baru. Jadinya, kutipan favorit saya saat SMP tidak lagi didominasi dari Dragon Ball atau Shincan, tetapi juga Lupus. Ingin cari yang lebih berbobot, tapi apa daya tak sampai. Baca Khalil Gibran yang saat itu sedang populer, keburu ngantuk hehehe.
Dari berbagai seri novel Lupus, ada dua yang mengubah hidup saya. Idiiih Udah Gede dan Interview With The Nyamuk. Di Idiih Udah Gede, Hilman menceritakan bagaimana Lupus ditantang untuk menjadi wartawan, dan perjuangannya mendapatkan liputan investigatif. Sedangkan di Interview With The Nyamuk, bertutur tentang Lupus (baca: Hilman) saat interview dengan band Duran Duran.
Sebenarnya, di seri Lupus lain ada juga cerita tentang Lupus yang masih wartawan magang di majalah HAI. Tapi, dua itu menurut saya yang terbaik. Hilman menuliskan dengan asik bagaimana menjadi wartawan. Dia bisa menggambarkan dengan cukup apa itu profesi wartawan, ruang lingkup kerja, sampai tanggung jawab yang meliputinya.
***
SMA kelas tiga menjadi perkenalan resmi saya dengan profesi wartawan. Saat itu, di SMA Muhammadiyah 1 Gresik punya ekstrakulikuler baru: jurnalistik. Gurunya berasal dari editor Surabaya Post. Sayangnya, saya lupa namanya meski masih ingat wajahnya.
Oleh pihak sekolah, kami diminta memilih satu kurikuler wajib. Saya yang payah dalam olahraga, jelas mencoret basket yang populer dipilih teman-teman dari daftar. Jurnalistik menjadi pilihan karena saya sudah tahu dasarnya. Ya, dari Lupus itu. Dan oh ya, dari dunia dalam berita. Acara TV yang saat itu menyebalkan karena sering mengganggu tayangan film. Bapak pernah bilang, yang bikin berita itu namanya wartawan.
Bisa ditebak, jurnalistik bukan pilihan ekstrakulikuler favorit. Yang ikut cuma sedikit. Bahkan, rasanya tidak sampai dua puluh orang. Belasan yang ikut pada awal kegiatan dimulai. Lalu mrotol, dan tidak lebih dari sepuluh orang setelah beberapa minggu. Entah karena tidak populer atau apa, ekstrakulikuler itu berakhir setelah kami diminta membuat tugas wawancara.
Kegiatan yang dulu dilakukan sekali seminggu itu cukup untuk membuat saya makin tertarik dengan jurnalistik. Sebab, dari empat pertemuan itu saya diberi bekal dasar wawancara dan memotret. “Korban” wawancara pertama saya adalah Wildan Khairuz Zaman. Teman sekelas yang saat itu menajdi atlet sepatu roda.
Saya makin mantap dengan jurnalistik ketika guru tamu itu menyebut punya saya terbaik di kelas. Entah karena saya memang jago, atau karena yang lain tidak minat saja sehingga asal-asalan. Tapi, itu cukup untuk membuat saya merasakan asiknya wawancara. Sejak itu, saya punya tekad untuk mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi sebagai jalan menjadi wartawan.
Seorang guru lantas memberi saran. Dia mengapresiasi pilihan saya karena tidak ikut-ikutan teman. Dia bilang: Perjuangkan itu. Kalau sudah punya pilihan, cari kampus yang punya jurusan Jurnalistik. Apapun kampusnya. Itu lebih baik daripada memilih kampus terkenal, tetapi masuk jurusan yang tidak kamu sukai.
Tekad itu membawa saya untuk ujian masuk di berbagai perguruan tinggi yang memiliki jurusan Ilmu Komunikasi. Hingga akhirnya, upaya itu membuat saya menuntut ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Benar kata guru itu, kuliah di jurusan yang disukai memang membuat segalanya berjalan lancar. Dalam 3,5 tahun saya berhasil menyelesaikan semua mata kuliah, dan wisuda tepat di tahun keempat (Desember 2008) sebagai lulusan terbaik dan cumlaude.
***
Jawa Pos menjadi pilihan melamar kerja tidak lama setelah lulus. Tidak sampai enam bulan untuk menunggu diterima kerja. Februari 2009 saya resmi menjadi wartawan Jawa Pos Koran.