Catatan: Artikel ini berdasarkan pengamatan pribadi dan sudah diterbitkan di harian Jawa Pos dalam bentuk empat edisi mulai Kamis, 21 Juli – 24 Juli 2016. Silakan klik halaman berikutnya untuk membaca edisi lanjutannya.
Bandar Pilih Menyerah daripada Mati (Edisi-1)
Laporan DHIMAS GINANJAR dari Manila
MANILA – Sudah hampir sebulan ini Filipina berada di bawah kepemimpinan Rodrigo Duterte, 71, mantan wali kota Davao yang dikenal keras terhadap kriminalitas. Sejak berkampanye, Duterte menebarkan teror kepada para bandar narkoba, koruptor, dan tindak kejahatan lain. Mereka diancam untuk insaf. Atau berurusan dengannya.
Duterte tidak hanya menggertak Polisi, mantan polisi, sampai wali kota sudah dicopotnya. Yang kekuasaannya dipereteli dianggap menjadi beking bandar narkoba. Bahkan, tidak lama setelah dilantik sebagai presiden, dia menuding 23 pemerintah daerah dan oknum polisi masih berafiliasi dengan bandar.
Setiap hari pemberitaan soal perang terhadap narkoba tidak pernah absen dari sajian berita di media Filipina. Sudut pandangnya macam-macam. Mulai bandar yang memilih untuk menyerah, pola rehabilitasi, sampai ancaman pemerintah pusat. Ada sanksi bagi wali kota dan polisi yang gagal menekan peredaran narkoba dalam enam bulan ke depan.
Sikap tegas itu memantik berbagai reaksi warga Filipina. Banyak yang mengapresiasi Duterte. Harapannya membuat Filipina tidak lagi menjadi surga pemadat. Bahkan, beberapa warga yang ditemui Jawa Pos mengaku kini sulit mencari narkoba. Misalnya, yang diakui Ronilo, pemilik bisnis transportasi yang ditemui di Mall of Asia.
Ronilo lahir di Marikina, salah satu kota di kawasan Metro Manila yang tidak jauh dari Manila, sekitar 35 tahun lalu. Di tempat dia tumbuh, narkoba seperti bukan barang terlarang. Dia biasa mendapatkan tawaran narkoba dari tetangga untuk dijual. ”Kalau berhasil menjual, fee-nya besar. Jadi, narkoba cepat tersebar,” ujarnya.
Namun, sejak Duterte berancang-ancang menjadi presiden, para pengedar waswas. Sepak terjang mantan wali kota Davao yang tegas itu sudah melegenda. Maklum, Duterte memimpin Davao selama 28 tahun dan sukses menekan angka kriminal.
Sebagai orang yang dekat dengan peredaran narkoba, Roni tahu betul seperti apa mudahnya mendapatkan barang haram itu. Apalagi di Manila sebagai ibu kota. Narkoba bahkan bisa didapatkan di warung-warung kecil di jalan. Saat Duterte menjadi orang nomor satu di Filipina, jumlah penjual menurun.
Ke mana mereka? Ronilo mengatakan dengan tegas: menyerahkan diri. Kesaksiannya bukan omong kosong. Daily Mail melaporkan, sekitar 60 ribu bandar narkoba menyerahkan diri. Mereka tidak mau mati konyol atas titah yang dikeluarkan Duterte. Yakni, warga boleh membunuh penjual dan pemadat.
”Orang-orang jadi takut dan sadar untuk tidak melakukan itu lagi. Puluhan ribu bandar menyerahkan diri,” katanya. Karena itulah, dia menyebut pemerintahan Duterte lebih memberikan hasil nyata soal perang terhadap narkoba. Dia optimistis, pemimpin koboi tersebut bisa membawa Filipina jauh lebih baik.
Apa yang disampaikan Roni benar-benar terjadi. Berita terbaru, bandar narkoba menjadi sasaran pembunuhan seperti yang terjadi di Tuguegaro City. Ada sepuluh pengedar yang dibunuh orang tidak dikenal. Di Albay, Region Bicol, 6.685 penjual obat bius dan pengguna menyerahkan diri.
Jual beli narkoba di Filipina memang sangat mudah. Romeo Moriano, pekerja yang ditemui di kompleks City Hall, Kota Quezon, menyebut para sopir taksi maupun jeepney (angkutan kota) biasanya memakai narkoba. Dia tahu betul karena pernah menggunakannya. ”Sopir jeepney paling banyak,” katanya.
Sebagai pengguna, dia menyebut sabu-sabu dan ganja paling banyak dikonsumsi. Narkoba paling mahal yang pernah dia tahu adalah ekstasi. ”Sabu-sabu murah, sekitar PHP 50 sampai PHP 100 (Rp 17.500 sampai Rp 35.000) per paket. Ada berbagai macam rasa,” katanya.
Peredaran narkoba di Filipina memang mengerikan. Pemerintah perlu bekerja keras karena The Philippine Drug Enforcement Agency (PDEA) atau BNN-nya Filipina memperkirakan, saat ini ada 1,8 juta orang yang terlibat dalam jaringan pengedar narkoba. Pelakunya naik 100 ribu orang karena pada 2009 survei menyebut 1,7 juta orang.
Gaya kepemimpinan Duterte yang kerap disebut ekstrem justru memiliki pendukung. Team leader penjualan salah satu merek fashion di Manila, April Abendan, 29, salah satunya. Dia justru menyebut cara radikal dibutuhkan untuk membuat perubahan di Filipina. ”Sudah ada hasilnya saat dia di Davao,” jelasnya.
Sikap serupa yang diterapkan kepada pelaku kriminal lain seperti perampokan maupun pemerkosaan membuat warga semakin merasa nyaman tinggal di Manila. Jadi, Abendan tidak perlu waswas lagi untuk pulang kerja saat malam. ”Ya, tentu saya jadi lebih merasa aman,” kata perempuan berambut panjang itu.
Dia juga menilai julukan The Punisher (Sang Penghukum) yang disematkan kepada Duterte kian memperkuat kinerjanya. Bahwa presiden barunya benar-benar tegas memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan. ”Itu keren (julukan Punisher, Red). Bikin takut penjahat,” tuturnya. (dim/c6/sof)