kampung surabaya

Kampung-Kampung Surabaya Nasibmu Kini

Terdesak Pembangunan, Terancam Hilang

Kampung di Surabaya pernah berprestasi di tingkat internasional karena ciri khasnya. Tetapi, pembangunan membuat kampung-kampung tersebut mulai terancam oleh gemerlap gedung-gedung bertingkat metropolitan.

MERCUSUAR api dinyalakan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Itu menjadi penanda bagi kapal-kapal yang akan berlabuh atau berlayar dari delta Kali Brantas. Di situ juga terdapat sebuah perkampungan nelayan. Tidak jauh dari sana, tepatnya di emplasemen Stasiun Wonokromo saat ini, terdapat sebuah pelabuhan bernama Dadungan.

Begitulah kira-kira kehidupan Wonokromo zaman dahulu seperti yang dikisahkan Dukut Imam Widodo dalam bukunya, Surabaya Tempo Doeloe. Suasana tersebut terjadi kira-kira pada abad ke-9 saat berdirinya Kerajaan Mataram Hindu Diyakini bibit kaitane kutho Suroboyo (asal mulanya kota Surabaya, Red) berawal dari sana.

Dukut lantas mengutip buku En Werd Een Stadd Geboren milik Von Faber yang artinya telah lahir sebuah kota. Di situ diceritakan fenomenalnya kawasan Wonokromo. Di muara tersebut, bercabang sembilan sungai yang nanti dikenal sebagai kawasan di metropolis. ’’Seperti Kali Greges, Kali Anak, Kali Krembangan, Kali Mas, hingga Kali Pegirian,’’ paparnya.

Dia menjelaskan bahwa permukiman pertama Surabaya berada di Pulau Domas. Di mana itu? Yang jelas, kampung tersebut sudah tidak ada. Jika dipetakan masa modern, kira-kira ada di sekitar Terminal Joyoboyo. Dikisahkan juga bahwa para penghuninya adalah orang-orang yang tidak diterima masyarakat, seperti narapidana, tawanan perang, hingga orang gila.

Nah, setelah itu para keturunan orang terbuang terus berkembang hingga muncullah perkampungan. Mereka juga membangun pelabuhan dan kampung nelayan yang bergantung pada Sembilan muara sungai, terutama Kali Mas dan Kali Pegirian.

Pakar tata kota ITS Johan Silas menyebut bahwa nama Surabaya bukanlah nama modern atau yang diciptakan baru-baru ini. Dia mengatakan, nama yang sudah melekat saat ini tersebut ada sejak ratusan tahun lalu. ’’Ini bukan nama rekaan, tetapi nama kota tertua di Indonesia,’’ ujarnya.

Sejak dahulu, kampung-kampung di Surabaya terus bermunculan. Kampung-kampung itu menciptakan sebuah jaringan yang membuat keterikatan antara satu dan lainnya. Mulai interaksi sosial hingga cerita rakyat sekalipun. Keberadaan kampung menjadi penting karena kampunglah yang membentuk Surabaya. ’’Sekali hilang, tidak bisa dikembalikan,’’imbuhnya.

Strategisnya letak Surabaya membuat kota yang terkenal dengan kisah 10 November 1945 itu berkembang dengan cepat. Warga dari berbagai kota berbondong-bondong mencari pekerjaan di metropolis dan membuat perkampungan tumbuh dengan pesat. Kehidupan multikultur itu menjadi ciri unik perkampungan di sini.

Puncaknya, pada 1983, IBA (International Bauaustellung) Berlin-Jerman menobatkan kampung Pandegiling, Kecamatan Tegalsari, menjadi hunian paling menarik di perkotaan. Setahun kemudian, giliran Kampung Donorejo-Donokerto, Kecamatan Simokerto, menjadi permukiman khas Asia Pasifik oleh UNESCAP (selengkapnya baca grafis).

Pesatnya pembangunan yang mengakibatkan kampung terimpit membuat pengakuan internasional mulai berkurang. Dalam website Pemkot Surabaya, sejak 1993, tidak ada lagi pernghargaan atas nama kam pung. Penghargaan yang didapat kebanyakan atas nama Kota Surabaya. Misalnya, pengakuan majalah The Financial Times pada 2010 bahwa Surabaya sebagai kota termurah 2009–2010 di Asia.

Meski demikian, Johan Silas mengatakan tidak perlu terlalu merisaukan hal itu. Baginya, penghargaan paling utama adalah berdatangannya warga asing untuk mempelajari sistem perkampungan di Surabaya. Misalnya, dalam waktu dekat akan ada buku tentang kampung Dinoyo yang digarap orang Australia. ’’Itu lebih baik daripada seremonial,’’ tuturnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, saat ini ada sekitar 200 kampung di Surabaya. Beberapa di antaranya tumbuh menjadi kampung yang memiliki ciri khas. Namun, jumlah tersebut terus menyusut dari tahun ke tahun, meski tidak berlangsung cepat. Selain itu, lokasi yang strategis membuat Surabaya tumbuh menjadi kota dengan jujukan para pencari kerja.

Untuk tahun ini, profesor kelahiran Samarinda itu yakin, daftar kampung yang hilang masih belum bertambah. Namun, dia membenarkan bahwa banyak perkampungan yang sudah terjepit gedung dan pusat perbelanjaan. ’’Seperti kampung di kawasan Jalan Urip Sumohardjo dan Jalan Basuki Rahmat,’’ jelasnya.

Jika tidak dijaga, kampung-kampung tersebut akan hilang secara alami. Sebab, pemkot tidak memiliki wewenang untuk melarang warga menjual tanah huniannya saat ini. Oleh sebab itu, sektor ekonomi masyarakat kampung harus mulai disentuh. Dia yakin, jika warga kampung berdaya, mereka pasti tidak tergoda menjual tanahnya kepada investor.

Presiden Surabaya Heritage 3.0 Freddy H. Istanto menambah kan, praktik keseharianlah yang membuat kampung di Surabaya menarik. Mulai tradisi pinjam-meminjam bumbu hingga blusukan di dapur tetangga kiri-kanan menjadi ekspresi keguyuban suasana kampung. ’’Banyak contoh tradisi yang lenyap di belantara realestat modern Kota Surabaya,’’ terangnya.

Selain itu, daya tarik kampung Surabaya adalah masih banyaknya bangunan berarsitektur campuran. Yakni, arsitektur Jawa (rumah dengan model tritisan Jawa) yang dipadu dengan garis lengkung atap ala arsitektur Tiongkok dan kolom-kolom doric khas arsitektur kolonial. ’’Tiga unsur budaya bergabung menjadi satu bentukan untuk mengekspresikan semangat keberagaman,’’ jelasnya.

Dia pernah berbincang dengan seorang pemandu wisata asal Belanda bernama Emile Luishuis. Dia mengatakan, kampung di Surabaya adalah yang terbaik jika dibandingkan dengan tujuh kota besar Indonesia lainnya. Pandangan itu tentu dari daya tarik wisata yang ditawarkan kampung. ’’Yang dikeluhkan hanya koneksi jalur pedestrian yang tidak kontinu dari satu kampung ke kampung lain,’’ tambahnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Fisik Sarana Prasarana Bappeko AA Gde Dwi Djaja Wardhana membenarkan hal itu. Pemkot saat ini menganggap kampung-kampung tersebut sebagai asset penting kota. Oleh sebab itu, pembangunan yang dilakukan sebisanya tanpa menggusur kampung. ’’Tetapi, meningkatkan kualitas kampung,’’ terangnya.

Pemkot, tampaknya, tidak main-main dalam pengembangan kampung unggulan tersebut. Anggaran yang masuk dalam pos urusan koperasi dan usaha kecil menengah itu mencapai Rp 34,6 miliar. Dwi Djaja menegaskan, pembangunan kampung akan dilakukan secara terpadu. ’’Antara fisik dan ekonomi harus berjalan bersama,’’ ungkapnya.

Beberapa upaya yang dilakukan adalah mengembangkan potensi ekonomi warga. Misalnya, membuat kampung-kampung unggulan. Mulai kampung lontong, kampung semanggi, hingga kampung hijau di Gundih Bubutan. Tahun ini pengembangan kampung unggulan yang dipimpin oleh bappemas dan KB itu memiliki 14 sasaran.

Dari peningkatan itu, kampung-kampung diharapkan bisa berdaya. Suasana yang kumuh bisa berubah menjadi lebih teratur dan bersih. Kebanggaan akan kam pung karena menjadi berkualitas bisa membuat warga betah dan tidak menjual tanahnya. ’’Salah satu faktor kelestarian kampung bergantung pada warganya,’’ tuturnya. (dim/c6/ang)

Kampung Bisa Jadi Penopang Pusat Bisnis

PENELITI perkotaan asal Jepang, Kenta Kishi, memiliki kekhawatiran terhadap perkembangan Kota Surabaya. Menurut dia, saat ini kondisi perkampungan sudah sangat rapuh karena tidak bisa mengimbangi transisi kota. Termasuk, ketimpangan pada perkembangan ekonomi masyarakat. ’’Penelitian kami mengarah ke sana,’’ ujarnya.

Ketimpangan-ketimpangan itu, jika tidak segera diseimbangkan, bisa mengakibatkan pembangunan menjadi kebablasan. Dia yakin banyak kampung yang akan dihancurkan dan diganti dengan proyek modern. Mulai pusat perbelanjaan hingga perumahan. ’’Rapuhnya kampung bisa membuatnya semakin mudah dihapus,’’ imbuhnya.

Dia lantas menceritakan tentang fenomena Kota Beppu di Prefektur Kyushu, Jepang. Sama dengan Surabaya, Beppu dulu menjadi salah satu kota yang berkembang pesat. Bedanya, kota di kepulauan itu besar karena potensi alamnya, sedangkan Surabaya tumbuh menjadi kota perdagangan dan jasa.

Eksplorasi besar-besaran membuat pembangunan di Beppu menjadi kebablasan. Akhirnya, kota itu berada pada titik jenuh dan tidak lagi bisa dieksploitasi. Perlahan, Beppu mulai ditinggalkan warganya yang masih produkif. Kota itu menjadi sepi. Pembangunan supermegah tidak lagi berarti.

Surabaya memang tidak bisa dibandingkan secara head-to-head dengan Beppu karena tipikalnya berbeda. Namun, ada satu kesamaan, yakni kota ini mengalami pembangunan pesat. Berbagai gedung pencakar langit mulai berdiri lengkap dengan pusat perbelanjaan. ’’Ketika kampung tidak lagi dipedulikan, Surabaya akan kehilangan hatinya,’’ jelasnya.

Kenta menyebut demikian karena kampung adalah hati dari Surabaya. Kota ini, menurut Kenta, lahir dari jaringan kampung yang besar. Karena itu, kampung dengan segala permasalahan dan kehidupan sosialnya harus tetap dibiarkan dan diberdayakan. Karena di masa depan, permukiman justru bisa menjadi semacam tempat untuk nostalgia dan lokasi menarik bagi turis. ’’Tetapi, itu tidak lagi menarik jika hanya menjadi bangunan mati tanpa penduduk,’’ tuturnya.

Kenta tidak ingin Surabaya meniru kondisi Jepang yang disebutnya sedang mencari kembali suatu sistem di level bawah. Di kota besar seperti Tokyo, beberapa perkampungan yang disebut Shita-machi memang masih ada. Lengkap dengan sosial strukturnya yang mirip Indonesia dengan chonaikai (RW) dan tonarigumi (RT). ’’Dulu kami punya banyak, tetapi sekarang sudah berkurang,’’ ungkapnya.

Meski demikian, Kenta menegaskan bahwa hasil penelitiannya tidak dimaksudkan untuk melawan pembangunan kota. Menurut dia, pembangunan tetap harus berjalan namun seimbang. Dia melihat pola-pola keseimbangan itu sebenarnya sudah diaplikasikan dengan benar oleh pemkot. ’’Ini yang harus dipertahankan,’’ katanya.

Pola yang dimaksud Kenta adalah letak kampung dan lokasi perkantoran atau pusat bisnis tidaklah jauh. Contoh yang paling pas, menurut dia, adalah kawasan Jalan Tunjungan, Jalan Embong Malang, hingga Jalan Basuki Rahmat karena pertokoan dan mal diletakkan di pinggir jalan. Di belakangnya ada perkampungan.

Pola tersebut dinilai tepat karena kampung bisa menjadi penopang kegiatan bisnis. Para pekerja bisa indekos atau tinggal di sana, termasuk memenuhi kebutuhan pangan. Itu dibuktikan dengan selalu berdirinya warung-warung atau kos di dekat kegiatan bisnis tersebut. ’’Kampung menawarkan kemurahan tempat tinggal hingga makanan,’’ tuturnya.

Bagi dia, kota tidak jauh berbeda dengan manusia yang sama-sama hidup dan terus tumbuh. Dalam pertumbuhan itu, banyak kemungkinan arah pembangunan, tetapi yang sering diketahui adalah konsep master planning (mendirikan bangunan baru). Penelitiannya dilakukan untuk mencari alternatif pola pembangunan tersebut.

Sebab, Kenta yakin bahwa sistem kampung yang sudah ada bisa memberikan petunjuk untuk mengembangkan metropolis ke arah yang tepat. Konsep sistem jaringan kampung yang kompleks, multikultur, konsistensi, simultan, spontan, dan komperehensif adalah kata kuncinya. ’’Surabaya tidak perlu perubahan besar dan cepat. Namun, perubahan kecil tetapi bertahap dengan konsep itu,’’ jelasnya. (dim/c7/ang)

Lemah Putro Tinggal Satu Gang

JARUM jam menunjukkan pukul 12.00 hari itu. Gang yang lebarnya kurang dari 2 meter tersebut menjadi ramai oleh kerumunan pegawai kantor berpakaian rapi yang mencari makan. Membuat gang terasa makin sempit. Beberapa warga di sana pun harus berjalan lebih lambat di tengah keramaian tersebut.

Bagi yang tidak awas, mencari kampung itu gampang-gampang susah. Gang sempit tersebut adalah akses menuju Lemah Putro dari sisi Jalan Pemuda, tepatnya sesudah Hotel Elmi. Dari Jalan Basuki Rachmat, lokasinya sebelum Gramedia Expo dan jalannya lebih lebar. Kampung itu menjadi sulit ditemukan karena terimpit gedung perkantoran.

Selain sulit ditemukan, perkampungan tersebut tidak bisa sembarangan diakses. Sebab, sempitnya gang membuat kendaraan roda dua tidak bisa seenaknya dimasukkan. Kecuali dari sisi Jalan Basuki Rachmat, itu pun hanya beberapa meter. ”Kampung itu hanya tinggal satu gang utama,” ujar Lurah Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Eko Sutrasno.

Lelaki yang sudah empat tahun menjadi lurah Embong Kaliasin itu mengatakan, telah lama Lemah Putro terimpit pemba ngunan. Dia tidak tahu pasti kapan kampung tersebut menjadi sangat sempit. Yang dia tahu, kampung terakhir yang hilang adalah wilayah RW 6. ”Sekarang menjadi hotel yang pembangunannya belum jadi itu,” papar dia.

Berdasar informasi yang dikumpulkan dari staf kelurahan, dahulu Lemah Putro tidak sesempit itu. Wilayahnya meliputi sekitar patung karapan sapi hingga pusat perbelanjaan buku Gramedia Expo. Dari tahun ke tahun, wilayah tersebut semakin terdesak karena investor mulai membangun gedung. ”Sebelum 1990, mulai ada pembangunan gedung,” terangnya.

Akhirnya, saat ini di kawasan itu hanya ada satu RW, yakni RW 9, dengan jumlah KK sekitar 50. Kampung tersebut semakin terancam hilang lantaran saat ini ada konflik dengan salah seorang warga yang sering digoda untuk melepas lahannya. ”Salah seorang warga itu pengusaha. Kalau menang, bisa jadi Lemah Putro tinggal nama,” terangnya.

Selain itu, kampung yang sekarang berada di ujung tanduk adalah RW XI, XII, dan XIII Keputran Pasar Kecil serta Keputran Kejambon. Dua kampung yang masuk Kelurahan Embong Kaliasin tersebut terancam hilang karena termasuk kawasan peremajaan kota. Bahkan, karena itu pihak kecamatan serta dinas kependudukan dan catatan sipil enggan mengeluarkan identitas bagi penduduk baru.

Eko menuturkan, kawasan itu masuk wila yah peremajaan setelah pemkot menjalin kerja sama dengan investor. Kala itu pemkot masih dipimpin Wali Kota Sunarto Sumoprawiro. Kerja sama tersebut mengubah kawasan Jalan Urip Sumohardjo menjadi pusat perbelanjaan dan perkantoran. ”Kalau proyek itu dilaksanakan, kampung-kampung akan hilang,” terang dia.

Itu mengulang hilangnya RW X yang kini menjadi Hotel Bumi, termasuk penambahan dan perluasan jalan beberapa tahun lalu. Keputusan tidak menerbitkan KTP bagi penduduk baru itu sudah disepakati Kabag Hukum Dispenduk Capil hingga Bappeko Surabaya. ”Kalau menikah dengan warga sana, pasangannya tidak bisa mendapatkan KTP wilayah itu,” ungkap dia.

Selain itu, banyak kampung di wilayahnya yang terancam hilang. Konsekuensi kelurahan di tengah kota dengan pesatnya pembangunan membuat banyak kampung hilang. Di Embong Kaliasin, ada satu RW yang kini hanya terdiri atas tiga RT dengan tiga KK. Jadi, satu RT terdiri atas satu KK. Itu terjadi karena sudah jarang rumah warga di sana. ”Di sini hanya sekitar 3 ribu KK dan terbanyak di Urip Sumohardjo,” ungkapnya.

Kampung lain yang terancam hilang adalah kampung Tambak Bayan. Saat ini warga bersengketa dengan pemilik Hotel V3. Akibat polemik itu, RT 4 sudah kehilangan banyak wilayah. Penduduknya pun berkurang drastis karena lahannya dimakan pembangunan hotel. ”Kampung tersebut terancam hilang. Karena itu, kami berusaha mempertahankannya,” kata Ketua RT 4/RW III Kelurahan Alun-Alun Contong Suseno.

Profesor Johan Silas menambahkan, selain kampung terancam hilang, contoh kampung mati sudah ada. Itu adalah kampung pecinan di kawasan Jalan Kembang Jepun. Konsekuensi kemajuan zaman, anak mampu membeli rumah bagus, tetapi orang tua tidak mau pindah karena terikat sejarah. ”Akhinya, pecinan seperti kampung mati karena tidak berpenduduk lagi,” terangnya. (dim/c11/ang)

Kembang Jepun Segera Masuk Cagar Budaya

UPAYA pemkot untuk mempertahankan keberadaan kampung tidak hanya melalui pembentukan kampung unggulan. Jauh sebelum itu, pemkot telah mengikat beberapa kampung dengan label cagar budaya. Kampung yang dilindungi itu tentu tidak banyak lantaran harus memiliki sejarah yang kuat.

Dalam peta cagar budaya yang dikeluarkan dinas kebudayaan dan pariwisata (disbudpar), yang dicap sebagai kampung cagar budaya adalah kawasan Ampel dan Bubutan. Kalau Ampel terkenal dengan kisah sunan, di Bubutan ada cerita tentang lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).

Kadisbudpar Wiwiek Widayati menyatakan, penetapan beberapa kampung menjadi cagar budaya adalah salah satu cara untuk melindungi kampung. Sebab, jika masuk kategori cagar budaya, kampung itu tidak boleh diubah seenaknya. ’’Meski wilayahnya luas, tetap tidak boleh sembarangan,’’ ujarnya.

Wiwiek lantas menjelaskan, warga di kawasan kampung cagar budaya diimbau untuk menjaga keaslian kampungnya. Saat ini pendekatan heritage internasional tidak hanya diterapkan pada bangunan kuno, melainkan pada kehidupan sehari-hari. ’’Sama juga bohong kalau kompleks bangunan tua tetapi tidak ada penghuninya,’’ terangnya.

Meski demikian, masih ada beberapa kampung yang memiliki sejarah kuat tapi belum termasuk cagar budaya. Sebut saja kawasan pecinan di Jalan Kembang Jepun. Meski banyak bangunan kuno dan menjadi pusat hunian keturunan Tionghoa, disbudpar hanya memasukkan Toko Aneka, eks Gedung Kadin, dan Kantor Memorandum (Jawa Pos Group).

Wiwiek menyatakan, kawasan Kembang Jepun belum masuk cagar budaya karena pihaknya masih menginventarisasi beberapa lokasi. Untuk tahun ini, dia memastikan pecinan bakal masuk situs kawasan cagar budaya baru. ’’Saat ini ada 170 cagar budaya dan akan ditambah pecinan,’’ ungkapnya.

Tidak hanya memasukkan pecinan ke peta cagar budaya, disparta juga berencana kembali menghidupkan kehidupan klasik di sana melalui festival-festival khas Tiongkok. Maklum, kawasan tersebut saat ini seperti kampung mati karena tidak banyak aktivitas. ’’Kami akan menggandeng beberapa komunitas,’’ terangnya.

Sementara itu, pakar tata kota ITS Profesor Johan Silas menyatakan, konsep melindungi kampung tersebut sudah benar. Baik dengan membentuk kampung unggulan maupun melabeli kampung sebagai cagar budaya. Menurut dia, langkah perkembangan metropolis sudah benar. ’’Sama dengan kota besar lainnya, kecuali di Amerika, semua menghargai cagar budaya,’’ tuturnya.

Karena itu, Johan menyebut Surabaya jangan sampai terkontaminasi perkembangan kota lain di Indonesia. Jika tidak, dengan yakin dia menyebut negara ini akan memalukan karena tidak ada kota di dalamnya yang bisa dibanggakan. ’’Kota ini sudah benar, tidak perlu mencontoh Jakarta. Kita harus menjadi alternate,’’ tegasnya.

Dengan berbagai konsep penyelamatan kampung, Johan semakin mantap menyebut Surabaya sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang siap menjawab tantangan abad 21. Dengan catatan, Surabaya harus menjadi kota alternatif dan tidak menjiplak kota lain.

Terkait dengan perkembangan kota, Johan menegaskan, tidak perlu menghilangkan kampung- kampung. Menurut dia, mo dernisasi tidak lagi identik dengan bangunan baru. Apalagi jika itu terkait dengan pe nunjang ki nerja. Munculnya berbagai gadget justru bisa membuat modernisasi itu bisa dilakukan di mana pun, termasuk di kampung. (dim/c13/ang)

1 comments On Kampung-Kampung Surabaya Nasibmu Kini

  • setelah membaca artikel ini saya jadi mengerti kompelsitas dari perkembangan kampung kota dengan dinamika-dinamikanyang ada didalamnya. saya sepakat jika ingin membesarkan nama kota maka besarkanlah kampungnya terlebih dahulu.

Leave a Reply