Kelamin Ganda, Anakku Perempuan atau Lelaki?

Penyakit kerancuan kelamin atau yang di dunia medis dikenal sebagai congenital adrenal hyperplasia (CAH) kembali menyeruak pekan lalu. Itu terjadi setelah terungkapnya diagnosis serangan penyakit tersebut kepada empat anak pasangan Torikin, 42, dan Seni, 39.

DUA anak pasangan asal Tegal itu, Taufan Al Habid, 4, dan Nur Iman, 2, hanya bisa menangis saat ditemui di Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND), Semarang, pekan lalu

Sementara kakaknya, Zakaria, 11, cenderung diam saat ayahnya menjelaskan pengujian yang dilakukan tim RSND.

Tiga anak yang masih polos itu divonis menderita penyakit kerancuan kelamin atau CAH. Seorang anak Torikin lainnya, si sulung Siti Damaryanti, diduga menderita penyakit yang sama karena muncul gejala menjadi laki-laki. “Saya ingin anak-anak menjadi jelas. Laki-laki atau perempuan,” ujar Torikin.

Pria yang bekerja serabutan tersebut tidak mudah mencerna apa itu CAH. Yang jelas, ada perubahan fisik yang berlawanan dari pertumbuhan anak-anaknya saat ini. Dia khawatir betul terhadap kondisi anak-anaknya. Apalagi, dokter menyebut kelainan itu bisa berujung kematian.

Torikin pantas khawatir. Sebab, empat anaknya yang lain sudah lebih dulu meninggalkannya. Diduga, penyebabnya adalah kelainan yang termasuk disorder of sexual development (DSD) itu. “Tipe bahaya dari CAH adalah salt losing. Mengancam jiwa,” ujar dr Achmad Zulfa Juniarto MSi Med SpAnd PhD Senin (16/3).

CAH adalah kelainan bawaan yang dipicu gangguan pada kelenjar adrenal atau anak ginjal. Organ itu tidak dapat memproduksi kortisol atau hormon stres. Jika tidak diobati, bisa terjadi perubahan fisik pada penderita. Gampangnya, perempuan menjadi laki-laki.

Sekretaris Tim Penyesuaian Kelamin RSUP dr Kariadi, Semarang, itu menambahkan, selama penang­anan kasus, sudah ada 7 di antara 72 pasien CAH yang meninggal. Ditandai dengan demam, muntah, diare, dan shock. Meski demikian, kelainan itu juga punya peluang besar untuk disembuhkan.

Lebih lanjut dia menjelaskan, anak-anak Torikin merupakan sebagian di antara banyak orang yang diduga mengalami kelainan kelamin jenis itu. Memang saat ini hanya 900 orang yang berobat ke RSUP dr Kariadi. “Tetapi, prevalensi (seberapa sering suatu penyakit terjadi pada sekelompok orang)-nya ada, 1 banding 5 ribu kelahiran,” jelasnya.

Berdasar data yang dimiliki RSND, paling banyak pasien berasal dari kawasan pantai utara (pantura) Jawa. Yakni, daerah Brebes, Pati, sampai Blora. Namun, pihaknya juga menerima pasien dari berbagai tempat di tanah air.

Sejak kapan kawasan pantura punya banyak kasus seperti itu? Tidak diketahui dengan pasti. Sebab, penyebab penyakit kerancuan kelamin belum diketahui pasti. Dari total penderita, 27 persen kasus terbukti diturunkan secara genetis. Sisanya tidak diketahui, mungkin disebabkan pestisida, obat-obatan selama hamil, atau jamu.

Karena tidak jelasnya penyebab kelainan kelamin, tidak banyak opsi untuk mencegah. Opsi paling mudah adalah melakukan berbagai tes kesehatan bagi pasangan yang hendak menikah. Dari tes itu, akan diketahui ada tidaknya yang membawa gen kelainan kelamin.

Bagi pasangan yang sudah menikah dan saat ini sang istri hamil, hindari obat-obatan yang tidak perlu. Tetapi, pasangan perlu segera periksa kalau ada riwayat saudara sedarah yang terkena kelainan kelamin. Selain itu, yang punya peran penting adalah bidan atau dukun bayi. Saat mereka membantu persalinan dan melihat ada yang aneh dengan bentuk kelamin, lebih baik bayi langsung diperiksakan. “Jangan terburu-buru untuk menentukan sendiri apa jenis kelaminnya,” tegasnya.

Sementara itu, dr Ardy Santosa SpU yang menjabat wakil ketua Tim Penyesuaian Kelamin RSUP dr Kariadi menjelaskan dua tipe DSD selain CAH. Pertama, androgen insensitivity syndrome (AIS) yang terdiri atas komplet dan parsial. Kelainan itu menyerang laki-laki. “Tidak ada obatnya. Harus operasi untuk membentuk kelamin menjadi normal,” terangnya Selasa lalu (17/3).

Agar penderita bisa sembuh, sebenarnya ada obat CAH. Tetapi, pasien harus meminumnya seumur hidup dan setiap hari. Begitu berhenti minum obat dalam waktu tertentu, kelainan bakal muncul lagi. “Seperti klitoris yang tumbuh membesar menjadi seperti penis. Begitu juga dengan perubahan ciri fisik lainnya,” jelas Ardy.

Tapi, harapan untuk sembuh itu diikuti dengan kabar buruk. Obatnya tidak banyak di Indonesia dan harus diimpor. Centre for Biomedical Research (Cebior) RSND milik Universitas Diponegoro berusaha membantu. Prof dr Sultana M.H. Faradz PhD selaku ketua menjalin kerja sama dengan Belanda. Namun, bantuan Belanda itu tidak bisa selamanya. “Karena Belanda sudah tidak bisa memberi gratis,” ujar Ardy. Dia berharap bisa mengimpor obat itu.

Bullying

Penindasan atau bullying adalah salah satu efek yang biasa muncul pada penderita kelainan kelamin. Apalagi ketika penderita terlambat ditangani dan perubahan fisik mulai tampak. Cemooh yang umumnya muncul adalah teriakan banci dan ejekan sebagai orang aneh. Bahkan, penderita sampai dikucilkan dari pergaulan.

Itulah alasan dr Ardy menekankan pentingnya penyembuhan sedini mungkin. Misalnya pada pasien hipospadia, lebih baik kelainan sudah dibereskan sebelum masuk usia sekolah. Dengan begitu, anak bisa tumbuh dengan tenang. “Kalau laki-laki kencingnya jongkok, pasti di-bully,” ujarnya.

Dampak bullying sudah terjadi kepada Muhammad Prawiro Dijoyo, 23. Dia adalah mantan penderita kelamin ganda yang terlahir dengan nama Siti Maemunah. Ketika memasuki SMP, perubahan mulai terjadi pada diri­nya. Kelaminnya yang berbentuk seperti perempuan tidak diikuti dengan perubahan fisik.

Sebaliknya, dia semakin laki-laki. Payudaranya tidak tumbuh, tetapi suaranya justru membesar. Berbagai hinaan harus dia terima. Joy, sapaan akrabnya, makin gelisah. Ketika remaja, dia tidak kunjung menstruasi, sementara kelaminnya makin tumbuh seperti laki-laki. Gara-gara itu, dia sempat mencoba bunuh diri saat kelas VIII SMP.

Tekanan itu membuat Joy berharap agar yang memiliki masalah seperti dirinya segera menjalani pemeriksaan medis. Setelah prosesnya selesai, dilanjutkan dengan mengurus identitas. Seingat dia, proses yang harus dijalaninya mulai awal sampai selesai putusan hakim mencapai enam bulan. “Urusan medis harus diselesaikan dulu,” katanya.

Retno Kusmardani, kuasa hukum Joy untuk mengubah identitas, mengatakan bahwa pengujian secara medis harus dilakukan segera. Kalau sejak awal diketahui, penderita tidak perlu tumbuh dengan membohongi diri sendiri. Dengan begitu, kemungkinan mengalami bullying bisa diminimalkan. “Lebih dini lebih baik,” ujarnya. (dim/c11/kim)

Torikin dan keluarganya

Perlu Screening Bayi Baru Lahir

KONDISI congenital adrenal hyperplasia (CAH) juga ditemukan di negara-negara lain, baik negara maju maupun negara berkembang. Yang membedakan adalah deteksi serta penanganannya. Di negara-negara lain, screeningdilakukan pada bayi baru lahir

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia menerapkan newborn screening yang mencakup lebih dari 20 penyakit, termasuk CAH.

Angka kejadian di AS adalah 1:15.000, sedangkan Inggris Raya 1:18.000 didiagnosis CAH. Tak perlu jauh-jauh dibandingkan dengan negara maju. Negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam juga sudah menerapkan newborn screening. Di Vietnam cakupan screening untuk bayi baru lahir 30-40 persen. Screening meliputi tiga penyakit, termasuk hipotiroid kongenital dan CAH. Untuk Filipina cakupannya sudah lebih besar, mencapai 50 persen, dan penyakit yang di-screening lebih banyak, 5-6 jenis (termasuk CAH). Angka prevalensi CAH di Filipina mencapai 1:7.000.

Mirisnya, di Indonesia screening untuk bayi baru lahir belum masuk dalam program pemerintah. “Ca­kupan screeningbayi baru lahir di seluruh Indonesia baru 1 persen. Angka kejadiannya bisa jadi lebih besar daripada Filipina dan Vietnam, namun karena belum ada screening, sulit dideteksi,” ujar dr Aman Pulungan SpA (K), ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI). Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Tahun 2014 baru memuatscreening untuk hipotiroid kongenital. Namun, bujetnya belum dimasukkan dalam APBN sehingga juga belum terealisasi.

Kepala Divisi Endokrinologi IKA FKUI-RSCM tersebut mengatakan, krisis adrenal memang bukan penyakit menular. Namun, dampaknya sangat buruk bagi kualitas hidup generasi mendatang.

“Pemerintah harus segera memutuskan. Screening bayi baru lahir ini sangat penting jika ingin kualitas anak-anak Indonesia di 30 hingga 40 tahun mendatang makin baik,” tegasnya.

Dokter Aman melanjutkan, angka kematian bayi di Indonesia adalah 240 bayi per 24 jam. Atau tiap jam ada sepuluh bayi yang meninggal. “Salah satu faktornya mungkin karena krisis adrenal ini,” ujar dia. Sebab, krisis adrenal apabila tidak ditangani dengan tepat bisa mengakibatkan kematian dalam satu tahun pertama.

Bila dilakukan screening bayi baru lahir, setidaknya dalam waktu satu minggu sudah bisa dideteksi adanya gangguan atau penyakit seperti krisis adrenal tersebut. Apa yang membuat di Indonesia hal itu sulit dilakukan? Secara lebih spesifik, screening untuk CAH sulit dilakukan dalam waktu dekat.

Menegakkan diagnosis CAH bisa diupayakan melalui pemeriksaan lab 17-Hydroxy-Progesterone (17-OHP). “Alatnya sudah ada di sini, tapi belum bisa dilakukan karena regulasinya belum ada,” lanjut Aman.

Pendapat MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memantau fenomena disorders of sexual development (DSD) sejak 2010. Pada tahun itu, mereka juga sudah mengeluarkan fatwa tentang status orang-orang dengan DSD. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, lembaganya menyebut kelainan DSD itu dengan istilah penyempurnaan kelamin.

“Penyempurnaan kelamin ini dibolehkan dan sah. Karena ada kesalahan identifikasi,” ujarnya.

Syaratnya, harus dilakukan dengan kepastian indikasi dari dokter bahwa yang bersangkutan mengalami kelainan seputar alat kelaminnya. Kemudian, proses operasi penyempurnaan kelamin itu harus dilakukan dokter ahli.

Asrorun menyatakan, masyarakat perlu membedakan fenomena penyempurnaan kelamin dengan penggantian kelamin. “Kalau penggantian kelamin itu diharamkan. Tidak boleh,” tandasnya.

Langkah Kemenkes

Hingga kini Kemenkes belum mengantongi jumlah pasti pengidap CAH di Indonesia. Pasalnya, kemen­terian pimpinan Nila Moeloek itu belum melakukan pendataan dan penelitian resmi pada fenomena CAH di tanah air. Alasannya, CAH tidak masuk dalam program prioritas Kemenkes karena kemungkinan terjadinya cukup rendah.

“Sekitar 1 dibanding 10 ribu angka kelahiran di Indonesia,” ujar Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemenkes Akmal Taher saat dihubungi kemarin (21/3).

Ada dua kriteria suatu penyakit atau kelainan kesehatan bisa masuk program prioritas, yakni jumlah penderita yang bisa mencapai angka ratusan ribu dan tingkat risiko penyakit/kelainan pada kematian. “Ini akan berbeda dengan pengidap HIV/AIDS. Jumlahnya tidak banyak, tapi tingkat risikonya sangat besar,” imbuhnya. (nor/wan/mia/c9/sof)

Berbeda sejak Lahir

Macam – Macam Disorders of Sexual Development (DSD):

Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH):

Kelainan bawaan yang dipicu gangguan pada kelenjar adrenal atau anak ginjal. Tidak dapat memproduksi kortisol atau hormon stres.

Pengobatan: Obat – obatan dan operasi

Androgen Insensitivity Syndrome (AIS):

Disebabkan tidak atau kurang tanggapnya reseptor androgen atau sel target terhadap rangsangan hormon testosteron.

Pengobatan: Obat-obatan dan operasi

Hipospadia:

Kelainan bawaan lahir pada anak laki-laki yang dicirikan tidak normalnya letak lubang kencing. Tidak di ujung kepala penis, tetapi berada lebih bawah/lebih pendek.

Pengobatan: Operasi saat usia 1-2 tahun

Prevalensi:

– Indonesia: 1:5.000 kelahiran

– Filipina: 1:6.000 kelahiran

– Inggris Raya: 1:18.000 kelahiran

– Amerika Serikat: 1:15.000 kelahiran

Daerah Terbanyak:

Kawasan pantura, terutama Brebes, Pati, sampai Blora

Pencegahan:
– Biaya screening bayi lahir masuk ke APBN

– Screening pranikah

– Jaminan ketersediaan obat

Leave a Reply