Mereka Bukan Banci, Mereka Berkelamin Ganda

Inilah Kisah Jakun si Mantan Santri Perempuan

Kasus orang-orang berkelamin ganda dan upaya mereka mendapat pengakuan hukum terus bermunculan di penjuru tanah air. Sehari-hari mereka harus menghadapi banyak ketidakadilan.


RIASAN dan pakaian perempuan yang dikenakan oleh Siti Maemunah selama ini tidak bisa menutupi maskulinitas perkembangan fisiknya. Badannya menjadi kuat. Dadanya tegap dan bidang karena payudaranya tidak tumbuh serta jakunnya kian kentara tumbuh. Suaranya juga terdengar semakin berat.

Warga Kelurahan Sembungharjo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, berusia 19 tahun itu juga tidak pernah mengalami menstruasi. Yang paling menyiksanya adalah libido. Dia tak merasakan apa pun saat menjalin hubungan dengan laki-laki. Tetapi, dia langsung “berdesir” tiap kali berdekatan dengan kaum hawa.

Karena itu, dengan yakin Siti mengajukan permintaan perubahan status dari perempuan ke laki-laki di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah. Sidang lanjutannya akan dihelat besok. “Makin dewasa, saya kian merasa tidak seperti perempuan pada umumnya,” ujar Siti yang kini bernama laki-laki M. Prawiro Dijoyo itu.

Siti hanyalah satu di antara ratusan, bahkan mungkin ribuan, warga negeri yang berada di persimpangan identitas karena berkelamin ganda. Contoh lain adalah Sukarnah. Penyumbang medali perunggu bagi Indonesia di Asian Games 1958 itu kini berubah menjadi laki-laki dengan nama Iwan Setiawan.

Fisik perempuan dia akui berangsur berubah setelah dirinya pulang dari ziarah ke makam Bung Karno di Blitar. “Setelah itu, saya jadi laki-laki,” katanya.

Entah apa hubungan antara ziarah yang berakhir dengan mimpi bertemu Bung Karno itu dengan perubahan fisiknya. Yang pasti, bukti tak bisa disanggah: Iwan yang dikaruniai seorang anak hasil pernikahannya tersebut adalah lelaki tulen kini.

Kasus serupa terjadi di Probolinggo, Jawa Timur. Soni Rama Fatahilah yang berusia tiga tahun secara fisik sangat laki-laki. Namun, dia memiliki kelamin layaknya perempuan.

Di Jakarta, bocah perempuan dari Tanjung Priok bernama Fatihayah, 4, bernasib serupa. Di tengah kelaminnya, ada daging seperti kelamin laki-laki.

Sementara itu, di Banyumas, Mai Purnomo alias Maemunah, 15, telah merasakan kelamin baru lantaran sudah menjalani operasi kelamin. Dia menjalaninya di RSUP dr Kariadi.

Proses yang sama dilalui Sumiati, remaja dari Tegal, Jawa Tengah. Anak bungsu di antara tiga bersaudara itu selama ini juga diperlakukan layaknya anak perempuan sebelum mantap memilih menjadi laki-laki dengan nama Sumito.

Dari Siti menjadi Dijoyo, Sukarnah menjadi Iwan, Sumiati menjadi Sumito, berada di wilayah abu-abu seperti itu jelas sangat menyiksa. Berbagai bentuk ketidakadilan harus mereka hadapi. Mulai diskriminasi, pelecehan, sampai kekerasan.

Sejak kecil, mereka harus menjalani hidup yang tak sesuai dengan yang mereka inginkan. Begitu berusaha memperlihatkan jati diri yang sebenarnya, label negatif seperti banci langsung disandangkan. Siapa pun tahu, di negeri ini banci distigmakan sebagai masyarakat “kelas dua”.

Belum lagi kalau tiba-tiba mereka terkena penyakit yang “tidak semestinya”. Misalnya yang dialami Siti, “perempuan” yang divonis dokter menderita hernia, penyakit yang hanya menyerang laki-laki. “Di kepala saya, terus terngiang pertanyaan kenapa saya bisa kena hernia,” kata Siti.

Untung, penyakit itu tak lantas membuat dia down. Dia justru semakin bersemangat mengungkap identitasnya yang sebenarnya. Dia lantas memeriksakan diri ke RSUP dr Kariadi.

Di hadapan dokter, dia menumpahkan semua unek-uneknya. Termasuk, kenapa dia sering merasa ada desiran aneh saat mondok bersama santri perempuan di pesantren putri kawasan Tlogosari, Semarang.

Di pesantren tersebut, Siti yang berjilbab harus menjalani kesehariannya bersama para santri perempuan lain. Mulai makan, minum, mandi, tidur, hingga aktivitas lain. “Nah, saat dekat dengan santriwati itu, saya merasa greng,” katanya, lalu terbahak.

Dengan arahan Tim Penyesuaian Kelamin (TPK) RSUP dr Kariadi, Semarang, dia lantas melakukan berbagai tes. “Hasilnya, hormon saya lebih dominan testosteron daripada perempuan,” ucap dia.

Berkelamin ganda memang fenomena medikal. Secara medis, itu disebut dengan ambiguous genitalia yang berarti alat kelamin meragukan atau disorders of sexual development (DSD).

Itu sangat berbeda dengan konsep banci -yang muncul karena ingin menjadi bentuk lain akibat tidak nyaman dengan kondisi diri saat ini. Sebab, berkelamin ganda identik dengan bentuk kelamin yang tidak sempurna saat lahir. Ujung-ujungnya, si bayi disangka laki-laki atau perempuan dan baru kelihatan kelamin aslinya saat dewasa.

Anggota TPK RSUP dr Kariadi dr Ardy Santoso SpU mengatakan, memang ada beberapa tipe kelamin ganda. Namun, untuk kasus Siti Maemunah alias Joy, Ardy lebih sreg menyebutnya bukan kelamin ganda. “Sejak lahir, dia laki-laki,” katanya.

Dia menjelaskan bahwa penis dan buah zakar Siti Maemunah saat lahir sangat kecil. Karena itu, bentuk kemaluannya mirip dengan milik perempuan.

Tidak telitinya orang tua maupun bidan saat itu membuat dia dibesarkan secara perempuan. Padahal, sesungguhnya dia adalah laki-laki tulen. (dim/bud/jpnn/c11/ttg)

Sulitnya Cantumkan Perempuan di KTP

BAGI Nadia Ilmira Arkadea, hanya ada satu petunjuk yang menguatkan identitasnya sebagai kaum hawa: kartu mahasiswa. Ya, hanya di kartu itulah status mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag), Semarang, itu tercantum jelas: perempuan.

Kejelasan seperti itu tak ditemukan di kartu identitas lainnya seperti KTP dan SIM. Perempuan kelahiran 16 Agustus 1979 di Kelurahan Gajah Mungkur, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, itu hingga kini masih kesulitan mendapatkan kepastian identitas di berbagai data administrasi kependudukan.

Padahal, hukum sudah berpihak kepada perempuan berkulit putih bersih dan bertubuh semampai yang akrab disapa Dea itu. Setelah identitas Dea sebagai orang berkelamin ganda terombang-ambing, hakim Pengadilan Negeri (PN) Batang, Jawa Tengah, mengesahkan status barunya sebagai perempuan pada 22 Desember 2009.

Tapi, hampir dua tahun berjalan nyaris tak ada yang berubah. Dia tetap saja harus menghadapi diskriminasi secara administrasi kependudukan.

Instansi tempat dia membuat identitas kerap mempermasalahkan banyak hal. Salah satu di antaranya, kartu keluarga (KK) miliknya yang dianggap tidak jelas. Ujung-ujungnya, tak ada status perempuan di berbagai kartu identitas yang dimiliki Nadia. ”Kecuali di kartu mahasiswa. Hanya ini satu-satunya identitas perempuan saya,” imbuhnya, lantas menunjukkan kartu mahasiswanya.

Dea pun hanya bisa pasrah. Sama pasrahnya dengan status asmara yang kini dijalinnya. Dengan berbagai pertimbangan, dia belum menceritakan masa lalunya kepada teman prianya.

Bagaimana kalau akhirnya ketahuan? ”Ya, kalau masih mau, syukur. Jika tidak, juga tidak apa-apa,” jawabnya.

Tapi, pasrah tidak berarti menyerah. Roda kehidupan Dea tetap menggelinding dengan antusias. Untuk membiayai kebutuhan, dia menjadi vokalis sebuah band kafe. Suaranya memang lembut dan enak didengar. ”Saya sudah punya jadwal manggung tetap di kafe,” ujarnya.

Dia juga sedang menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag), Semarang. Meski kuliah tersebut diakuinya terlambat lantaran usianya sudah 32 tahun, dia tetap bersemangat.

Dea juga sangat bergairah berbicara tentang masa depan transeksual di Indonesia. Dia berharap, kemandiriannya secara ekonomi dan kemapanannya secara pendidikan bisa membuka mata siapa saja agar tak lagi menyepelekan mereka yang berada di persimpangan identitas.

Menurut dia, bagi kaum transeksual, menjadi laki-laki atau perempuan adalah sebuah pilihan. Tanpa ada maksud senila pun untuk mengkhianati ciptaan Tuhan. Mereka justru hanya mengikuti hormon yang bertumbuh secara dominan di tubuh. ”Saya memilih perempuan bukan karena tren dan ini bukan hasil rekaan,” urainya.

Meski begitu, Dea menuturkan bahwa memang tidak mudah menanamkan pemahaman tersebut ke benak setiap orang. Dulu dia juga harus berdebat keras dengan sang ayah yang berstatus ustad. Proses dialog dengan dalil agama itu akhirnya berhenti saat ciri-ciri fisik perempuan tumbuh pada dirinya.

Finalisasinya, dia melakukan operasi kelamin untuk membuang status hermaprodit (kelamin ganda). ”Bukan cuma masalah mana alat kelamin yang berfungsi baik, tetapi faktor psikis,” tuturnya.

Maksudnya, lanjut Dea, percuma saja alat kelamin berfungsi baik, tapi faktor biologis dan psikis tidak mendukung. Dia memberikan contoh seorang transeksual dari Pekalongan yang sampai nekat menggunting penis.

Bisa jadi, lanjut Dea, bagi si transeksual di Pekalongan itu, adalah mimpi buruk ketika biologis dan psikisnya perempuan, tetapi memiliki penis.

”Operasi kelamin bagi hermaprodit itu masuk kategori urgent surgery, bukan lagi estetika,” tegasnya.

Dia pun berharap, suatu saat ada undang-undang yang mengatur secara detail tentang hermaprodit atau transeksual. Dengan demikian, posisi mereka jelas: tidak larut dalam istilah banci atau waria yang dia sebut sebagai lelucon. (dim/c4/ttg)

400 Kasus di Jateng, Penyebab Masih Gelap

PENYEBAB bayi lahir dengan kelamin ganda yang menjadi salah satu pangkal terjadinya operasi kelamin dan munculnya kaum transeksual ternyata masih gelap. Dr Ardy Santoso yang menjadi anggota Tim Penyesuaian Kelamin (TPK) RSUP dr Kariadi Semarang mengatakan, bisa jadi pemicunya adalah faktor genetik, tetapi bisa juga karena perubahan yang spontan.

Dia menjelaskan, disorder of sexuality developmet (DSD) tersebut bisa terjadi ketika ada masalah pada perkembangan androgen. Dengan begitu, terjadi androgen insensitivity syndrome (AIS). Androgen dikenal sebagai hormon yang menciptakan dan memelihara sisi maskulin.

Menurut Ardy, bayi yang memiliki potensi berkelamin ganda sebenarnya cukup banyak. Berdasar data yang dimilikinya, perbandingannya adalah 1:4.500 kelahiran.

Hingga awal Desember, lanjut Ardy, TPK RSUP dr Karyadi Semarang telah menangani sekitar 400 kasus bayi berkelamin ganda. Jumlah tersebut hanya berasal dari Semarang dan sekitarnya. ”Itu yang kami tangani, mungkin masih banyak yang belum terungkap,” tambahnya.

Perubahan kelamin bagi mereka yang berkelamin ganda sebenarnya bisa terjadi kapan saja. Tidak ada batasan umur tertentu, bisa saat masih kecil, ketika remaja, atau saat sudah dewasa. Perubahan fisik itu akan terjadi dengan sendirinya pada waktunya. Terutama, saat salah satu kromosom menjadi lebih dominan.

Meski demikian, seseorang dikatakan memerlukan operasi kelamin juga tidak mudah. Menurut Ardy, banyak tes yang harus dilakukan. Mulai tanya jawab, pemeriksaan fisik, hingga penunjang seperti kromosom. Dari semua tes itu, akan diketahui apakah benar-benar perlu dilakukan operasi atau tidak.

Yang pasti, lanjut ahli urologi tersebut, pihaknya tidak akan mengabulkan pemintaan mereka yang ingin berganti kelamin karena tren. Semua bakal ditentukan melalui tes medis. Kalau ada yang berbohong dan pura-pura, tes itu diyakini bisa mendeteksi. ”Hanya yang perlu, ada juga yang tidak kami kabulkan.”

Nadia Ilmira Arkadea, seorang transeksual yang sudah disahkan pengadilan sebagai perempuan sejak dua tahun lalu, mengatakan, dukungan keluarga sangat penting bagi seseorang yang berada di persimpangan identitas. Keluarga yang tidak emosional dan bersedia sebagai teman curhat bisa menjadi penengah yang baik.

Ada baiknya, orang tua yang tahu anaknya berkelamin ganda memberikan perhatian lebih besar. Lalu, memahami apa yang sebenarnya terjadi sebelum membawa sang anak ke dokter untuk mendapat penanganan medis.

Anak yang sadar dirinya berbeda harus bisa mencari teman untuk bercerita. Bisa siapa saja: sahabat, saudara, atau orang tua secara langsung. Menurut dia, secepatnya itu dilakukan bakal semakin baik. ”Kalau takut, bisa ditemani dengan orang ketiga,” kata Dea, panggilan akrab Nadia. (dim/c7/ttg)

1 comments On Mereka Bukan Banci, Mereka Berkelamin Ganda

  • itu adalah kelamin jelas bisa disebut banci tapi kalau kelaminnya pendek perempuan kalau kelaminnya panjang laki laki kalau sedang ya banci semoga cepet sembuh ya

Leave a Reply