lan fang

Menelusuri Sisa-Sisa Kejayaan Lan Fang, ”Republik” Pertama di Indonesia

Jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, di Kalimantan Barat berdiri sebuah republik. Negara de jure itu didirikan pada 1777 oleh Lo Fang Pak, seorang perantauan dari Tiongkok Daratan.

DHIMAS GINANJAR, Pontianak


TANGAN Xaverius Fuad Asali bergerak lincah membuka halaman demi halaman sebuah buku berbahasa Mandarin. Buku berjudul Het Kongsiwezen van Borneo itu berisi sejarah kongsi orang Tionghoa di Kalimantan yang ditulis J.J.M. deGroot, seorang sejarawan asal Belanda. Tangannya lantas berhenti di sebuah halaman yang bergambar peta Kalimantan Barat.

Peta tambahan dari sejarawan Lo Shiang Lim tersebut dibagi menjadi empat bagian. Selain Kalbar, digambarkan pula arah datangnya orang Tiongkok Daratan ke Kalimantan. ”Orang-orang Hakka (salah satu suku di Tiongkok, Red) masuk melalui jalur laut. Lewat Vietnam, Pulau Natuna, lalu masuk ke Kalimantan,” ujarnya sambil menunjuk peta.

Kelompok-kelompok yang datang dan bekerja sebagai penambang emas itu lantas membuat persatuan atau kongsi. Biasanya, kongsi tersebut berdasar tempat mereka menambang. Sebelum dihancurkan Belanda, terdapat tiga kongsi besar yang menaungi kongsi-kongsi kecil. Tiga kongsi itu adalah Samtiaokioe, Fosjoen (lantas berubah menjadi Thaikong), dan Lan Fang.

Fuad Asali yang juga sejarawan Tionghoa Kalbar itu lantas menjelaskan bahwa yang terlihat di peta tersebut adalah wilayah kekuasaan Lan Fang. Wilayah itu sangat luas meski kongsi yang didirikan Lo Fang Pak tersebut harus berbagi wilayah dengan Thaikong, kongsi besar lain yang memiliki wilayah di sekitar Montrado, Singkawang, serta Sambas.

Meski sama-sama besar, ada beberapa hal yang membedakan antara dua kongsi itu. Thaikong masih menggunakan sistem feodal, sedangkan Lan Fang lebih demokratis. Selain itu, Thaikong cenderung berdiri sebagai kongsi yang keras serta kurang berpendidikan. ”Sangat berbeda dari kelompok Lo Fang Pak yang berpendidikan dan halus,” imbuhnya.

Nah, sistem lebih demokratis itulah yang membuat Lan Fang secara tidak langsung diberi gelar ”republik”. Masuk dalam tanda kutip karena secara de facto tidak ada pengakuan resmi terhadap kepemimpinan Lo Fang Pak secara internasional. Meski, kenyataannya, syarat untuk terbentuknya negara sudah terpenuhi.

Fuad yang sudah berusia 80 tahun itu tidak perlu berpikir lama untuk mengingat kenapa Lan Fang dekat dengan republik. Dia langsung menyebutkan bahwa Lan Fang sudah memiliki rakyat. Mereka juga menyelenggarakan pemilu selama berdirinya republik itu. Mereka juga memiliki sistem perekonomian, perbankan, serta peraturan hukum sendiri.

”Lo Fang Pak juga memiliki sebuah pasukan keamanan sendiri. Tidak untuk menyerang, tapi melindungi teritori sendiri, termasuk dari Montrado (Thaikong, Red),” jelasnya.

Kedekatan-kedekatan itulah yang membuat kepemimpinan Lo Fang Pak bisa dikatakan sebagai republik. Berbeda dari sistem kekuasaan lain saat itu yang masih monarki.

Fuad lantas mengambil beberapa referensi buku lainnya sebelum menjelaskan kenapa Lo Fang Pak bisa sangat kuat dan menjadi pemimpin. Karisma adalah salah satu kekuatan pemuda 28 tahun (ada yang menyebut 34 tahun) itu saat kali pertama masuk Kalimantan dengan menggunakan kapal melalui Kuala (muara) Mempawah, Pontianak, 1771.

Bersama sekitar 100 orang dari Tiongkok, dia memasuki Sungai Peniti untuk masuk pedalaman. Tiba-tiba, ada sebuah buaya yang hendak menyerang dan konon berhasil dihalau Lo Fang Pak. ”Masyarakat makin menaruh hormat karena dia juga memiliki kemampuan di bidang persilatan serta pengobatan,” jelasnya.

Sumber lain menyebutkan, dia makin terkenal karena membantu Sultan Abdurrahman (sultan Pontianak) saat bertikai dengan sultan Mempawah. Pertikaian karena pembangunan istana di hulu sungai kekuasaan Mempawah itu berakhir dengan perjanjian damai. Nama Lo Fang Pak makin diperhitungkan karena penandatanganan perjanjian dua kesultanan tersebut dilakukan bersama dirinya.

Kelompoknya makin tangguh karena hanya berisi satu etnis, tidak seperti kongsi Thaikong yang menaungi 14 kongsi. Lo Fang Pak berasal dari Shak Shan Po, Kabupaten Koyinchu, Provinsi Kanton. Dia memilih anggota dari satu etnis karena merasa bisa lebih dipercaya dan solid.

Meski demikian, tidak berarti anggotanya murni dari satu etnis. Sebab, dalam perjalanannya, warga Republik Lan Fang melakukan akulturasi dengan pribumi, khususnya Suku Dayak. Maklum, saat datang, mereka sendirian tanpa membawa istri. Meski para lelakinya asli Tiongkok, para istri mereka tetap pribumi.

”Termasuk buyut perempuan saya. Dia orang Dayak asli,” ungkap penulis buku Aneka Budaya Tionghoa Kalbar itu.

Pola perantauan Hakka dari Tiongkok, kata Fuad, memang selalu datang sebagai bujangan. Terutama pada masa-masa kongsi dan penjajahan masih berlangsung di Nusantara. Akulturasi itulah yang membuat jumlah orang Tionghoa di Kalbar sangat banyak.

Bahkan, konflik horizontal di antara mereka jarang meletus hingga besar. Meski, pengusaha pemilik nama asli Lie Sau Fat itu tidak menutup mata bahwa pertikaian karena ulah oknum-oknum masih terjadi. Akulturasi tersebut juga menjadi salah satu warisan Lo Fang Pak dan kongsi lain yang masih bisa dilihat.

Saat Lan Fang didirikan, warga sebenarnya menginginkan Lo Fang Pak menjadi sultan saja, seperti halnya kesultanan Sambas dan Mempawah. Tapi, dengan bijak dia menolak dan memilih pemerintahan yang berbeda dari kerajaan. Lantas, dalam pemilihan umum disebutkan bahwa Lo Fang Pak terpilih menjadi presiden pertama.

Meski demokrasi, ada aturan bahwa yang boleh menjabat presiden adalah orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Selain itu, mereka memiliki bendera yang berbentuk persegi empat berwarna kuning dengan tulisan dalam bahasa Mandarin yang berbunyi Lan Fang Ta Tong Chi.

Untuk pakaian, Lan Fang menerapkan aturan yang berbeda antara pejabat tinggi dan rendah. Kalau pejabat tinggi berpakaian ala Tiongkok, pakaian model Barat diperuntukkan bagi pejabat yang lebih rendah. Tidak lupa, agar arus perdagangan makin lancar, dibentuklah sebuah sistem transportasi.

Di tempat terpisah, Any Rahmayani, peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, menyebutkan, dalam buku berbahasa Belanda yang dia bawa dikatakan: vermoedelijk heeft de Panembahan van Mampawah tusschen 1740 en 1745 een 20ital chineezen uit Broenei laten komen, om voor zijn rekening goud te zoeken aan de Soengei Doeri.

Jika diterjemahkan, artinya: Panembahan Mempawah pada 1740 dan 1745 mengundang 20 orang Tiongkok dari Brunei untuk melihat kandungan emas yang ditemukan di Sungai Duri. Setelah itu, banyaknya kandungan emas membuat pertambangan butuh banyak pekerja. Terus berdatanganlah orang Tiongkok.

Mereka datang sebagai bujangan karena ada larangan membawa istri kalau mau menjadi pekerja di Kalimantan. Begitu juga dengan Lo Fang Pak bersama 100 orang lainnya, mereka bertujuan untuk menambang emas. ”Kalau di wilayah Panembahan Mempawah ada tambang di daerah Mandor, di sanalah ada Lan Fang,” terangnya.

Sama dengan Fuad, Any membawa berbagai referensi buku untuk menjelaskan semua itu kepada Jawa Pos. Sebab, tak banyak referensi yang menceritakan republik pertama tersebut. Terutama dari buku-buku terbitan masa kini. Satu kesepakatan di antara keduanya adalah sistem republik yang dianut Lan Fang.

”Pemimpinnya selalu diganti dan dipilih melalui sistem pemilihan. Perekrutan pekerja dan pembagian hasil juga yang paling baik,” urainya. Soal penyebab Lan Fang terus menguat, perempuan berjilbab tersebut mengungkapkan bahwa itu terjadi karena kerajaan-kerajaan saat itu tak mau tahu.

Selama setoran upeti lancar, mereka tidak mau tahu apa yang terjadi dalam kongsi-kongsi tersebut. Jadi, Lan Fang berhasil mengembangkan wilayah dengan luas serta memiliki kepercayaan rakyat yang tinggi. Karena itu, Any menyebutkan bahwa keberadaan Republik Lan Fang seperti duri dalam daging.

Ujung-ujungnya, kerajaan meminta bantuan penjajah untuk memberangus kongsi-kongsi tersebut. Belanda menyanggupi karena tergiur banyaknya deposito emas di bawah tanah kerajaan. Berbagai cara dilakukan, termasuk pola adu domba. Akhirnya, kongsi berhasil dibubarkan pada 1884. Termasuk Lan Fang yang masih dianggap kongsi Tionghoa oleh Belanda.

Jika dihitung-hitung, Republik Lan Fang bertahan selama 107 tahun. Tercatat, presiden terakhir yang menjabat adalah Liu A Syin yang memegang tampuk kepemimpinan pada 1880-1884. Kebesaran Lan Fang menyisakan berbagai hal seperti Kelenteng Lo Fang Pak di Sungai Puruh Besar, kantor License Officer di Pontianak (sekarang jadi Bank Mandiri), hingga Tugu Peringatan di Desa Mandor, Kecamatan Mandor. (c5/nw/)

Lukisan Lo Fang Pak di Kelenteng Sungai Purun Besar

Air Kolam di Kelenteng Dulu Berkhasiat, Kini Tak Terawat

Mengumpulkan mozaik tentang Lo Fang Pak, pendiri Republik Lan Fang di Kalbar, tidaklah mudah. Jauhnya generasi dan kurangnya kepedulian membuat peninggalan sejarahnya hilang begitu saja.


SALAH satu peninggalan Lo Fang Pak yang masih bisa dinikmati adalah kelenteng yang bernama sama seperti dirinya di Sungai Purun Besar. Sebuah daerah tandus di sekitar Km 36 dari Pontianak yang masuk Kecamatan Sungai Pinyu. Bangunan itu terletak di tengah hunian yang didiami 40 kepala keluarga.

Jika tidak jeli, sebenarnya agak sulit menemukan bangunan tersebut. Sebab, patokan bertulisan Tempat Ibadah Tri Darma di pinggir jalan tersebut tidak terlalu terlihat. Tingginya sekitar perut orang dewasa, hampir sama dengan rerumputan yang mengelilinginya.

Memasuki kelenteng, aneka lampion yang digantung langsung menyambut. Debu terlihat jelas menempel di hiasan gantung berwarna merah itu. Begitu juga tembok gerbang sebelum melewati sebuah jembatan yang membelah kolam. Sekilas, tempat ibadat tersebut tampak tidak terawat.

Apalagi kalau melihat isi kolam yang memiliki luas sekitar 2 x 8 meter itu. Airnya sangat sedikit dan tidak bisa digunakan lagi lantaran kotor. Ditambah, beberapa jenis tanaman liar menutupi seluruh permukaan air. ”Dulu, air dari kolam ini punya khasiat,” ujar Tjong Yu Fei, penjaga kelenteng.

Entah khasiat seperti apa yang dimaksud penjaga 40 tahunan itu. Dia hanya ingat, saat kecil, dirinya sering melihat pengunjung kelenteng mengambil air dari kolam. Ada yang langsung meminumnya, tidak sedikit juga yang memasukkannya ke botol untuk dibawa pulang.

Namun, dia menemui kesulitan untuk memutar memorinya lebih jauh saat ditanya sejak kapan air kolam rusak. Tjong Yu Fei mengalihkan jawaban atas pertanyaan itu dengan membuka pintu terali besi yang menutup akses menuju ruangan untuk berdoa.

Di ruangan tersebut, terlihat jelas banner bertulisan Selamat Ulang Tahun Ke-274. Belum sempat ditanya, dia berinisiatif menjelaskan isi banner tersebut. Menurut Tjong Yu Fei, berdasar catatan leluhur, kelenteng yang dia jaga memang sudah sangat tua. ”Imlek kemarin kami merayakan ulang tahun pekong (kelenteng, Red) ke-274,” ungkapnya.

Nah, sosok Lo Fang Pak bisa diketahui di kelenteng tersebut. Ada empat lukisan yang menggambarkan presiden pertama Republik Lan Fang tersebut. Meski ada beberapa versi, semua bersepakat melukiskan perantauan asal Shak Shan Po, Koyinchu, Provinsi Katon, Tiongkok, itu sebagai sosok dengan jenggot tebal.

Kepalanya plontos dengan baju tradisional Tiongkok, namun tetap berwibawa karena lukisan tersebut menunjukkan sikap tegap Lo Fang Pak. Lukisan paling besar diletakkan di tengah-tengah altar. Diapit patung Dewi Kwan Im dan Guan Yu, tiga Shu bersaudara dari kisah tiga kerajaan.

Sama dengan lampion di depan, rata-rata kondisi lukisan dan patung tersebut berdebu. Begitu juga altar dan lantai-lantainya. Tjong Yu Fei berdalih kondisi itu terjadi karena sepinya pengunjung. ”Saat ulang tahun, tempat ini kami bersihkan dan dipersiapkan dengan baik,” tegasnya.

Meski menjadi penjaga, dia selalu menggelengkan kepala saat ditanya lebih dalam tentang Lo Fang Pak. Dia mengaku tak tahu pasti kisahnya. Yang jelas, konon kelenteng itu merupakan bekas kantor kongsi Lan Fang. ”Tidak, saya tidak tahu banyak tentang kisahnya,” terangnya.

Penjaga terdahulu juga tidak pernah bercerita banyak tentang Lo Fang Pak. Kalaupun ada sekelumit kisah yang diketahui, Tjong Yu Fei menyebut Lo Fang Pak adalah orang yang hebat. Bahkan, para pengikutnya sampai sekarang masih kerap datang ke kelenteng tersebut dan memberikan sumbangan.

Buktinya, untuk perayaan ulang tahun ke-274 saja, kelenteng tersebut menerima bantuan hingga Rp 74 juta. Bagi dia, angka tersebut sangat fantastis untuk kelenteng tersebut. ”Daftar penyumbang biasanya kami tulis dan tempelkan di tembok,” terangnya seraya menunjukkan rekap keuangan di tembok.

Saking besarnya kekuasaan Lan Fang, dia menyatakan bahwa rumah-rumah warga itu berada di atas tanah kelenteng. Rumah peribadatan itu disebutkan memiliki ukuran segi empat dengan luas yang cukup lumayan. Tjong Yu Fei menyebut demikian karena tak tahu pasti luas kelenteng.

Tidak hanya itu, dengan bersemangat, dia mengungkapkan bahwa tempatnya mengabdi punya keistimewaan lain. Apalagi kalau bukan fisik dan ornamen kelenteng tersebut. Meski tak ada catatan resmi, dia berani menegaskan bahwa semua masih asli. ”Terutama bagian altar, tidak pernah diubah,” ujarnya.

Selama hidupnya, Tjong Yu Fei mengaku tak pernah melihat adanya rekonstruksi di kelenteng tersebut. Begitu juga dari cerita orang tuanya, dirinya tak pernah mendengar adanya pekerjaan membenahi kelenteng.

Sejarawan Tionghoa Kalbar Xaverius Fuad Asali memaklumi minimnya informasi yang diketahui penjaga kelenteng. Menurut dia, bisa jadi mereka adalah pendatang baru, sehingga kurang mengetahui sosok pendiri Lan Fang. ”Sejak peristiwa Mangkuk Merah 1967, sulit untuk menjelaskan siapa Lo Fang Pak,” katanya.

Peristiwa yang dia maksud adalah sentimen anti-Tionghoa di Kalbar semasa awal kekuasaan Orde Baru. Hidup dalam ketakutan itulah yang memiliki andil dalam menjawab kenapa informasi tentang pengembara Suku Hakka tersebut hilang. Sebab, setelah peristiwa itu, segala sesuatu yang berbau Tionghoa dan kebudayaannya ditutup rapat.

Orang-orang tidak bisa lagi menceritakan siapa Lo Fang Pak dengan gamblang. Meski jelas, keberadaannya bersama kongsi-kongsi besar lain semacam Thaikong memiliki andil dalam perkembangan Kalbar. Karena itu, seusai era Presiden Gus Dur, warga Tionghoa baru berani lebih terang menunjukkan eksistensinya.

”Termasuk kembali ke kelenteng Lo Fang Pak. Biasanya mereka ke sana untuk memberikan penghormatan dan balas budi,” jelasnya. Hal itu tidak hanya diungkapkan warga di sekitar Kalbar. Umat yang saat ini sedang merantau di berbagai pulau di Indonesia juga kerap menyempatkan diri untuk datang.

Soedarto, 79, sejarawan Kalbar lainnya, membenarkan bahwa kisah Lo Fang Pak dengan Republik Lan Fang-nya tenggelam karena kepemimpinan Orba. Berbagai artefak atau bukti catatan adanya kongsi-kongsi di Kalbar tidak lagi bisa ditemukan dengan mudah. ”Meski, warga Lan Fang sendiri bukan hanya orang Tionghoa. Pribumi, terutama para istri, juga ada,” jelasnya.

Terkait dengan alasan Lan Fang yang masih terus dikenang, mantan guru sejarah itu menyatakan bahwa Lo Fang Pak mampu membuat republik yang kuat. Jika dibanding kongsi lain, saat itu Lan Fang paling sulit ditaklukkan. Belanda butuh waktu lebih lama untuk menjinakkan republik yang didirikan pada 1777 tersebut.

Selain itu, ciri khas warga Tionghoa yang bisa mempertahankan kultur membuat hilangnya sejarah bisa direm sedikit demi sedikit. Karena itu, meski sebagian besar warga keturunan Tionghoa di Kalbar saat ini merupakan hasil perkawinan dengan Suku Dayak, budaya menghormati leluhur masih kuat. (nw/c5/)

Tugu peringatan Lo Fang Pak di Sungai Purun Besar

 

Tugu Peringatan Jadi Tempat Cari Nomor Togel

Sudah sangat jarang yang bersembahyang di tuguyang didirikan untuk menghormati Lo Fang Pak di Mandor, Kalimantan Barat. Kondisi Mandor sekarang merupakan cermin saat kongsi-kongsi Tionghoa, termasuk Lan Fang, mulai dihancurkan Belanda


SIAPA yang percaya adanya Republik Lan Fang kalau melihat kondisi Desa Mandor, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, saat ini? Padahal, konon desa dengan 813 kepala keluarga itu adalah pusat dari kongsi milik Lo Fang Pak. Bahkan, berbagai literatur menyebut kalau kongsi tersebut sangat besar dan makmur.

Butuh waktu sekitar dua jam dari Pontianak untuk bisa mencapai desa yang dipimpin oleh H. Effendi tersebut. Beruntung, akses menuju Landak cukup baik karena menjadi jalan internasional. Banyak bus seliweran mengantar penumpang ke Malaysia hingga Brunei Darussalam atau kembali ke Pontianak.

Begitu sampai Kecamatan Mandor, tidak banyak warga yang tahu dimana keberadaan tugu presiden pertama Republik Lan Fang itu. Pamornya kalah dengan Tugu Mandor, monumen yang dibangun untuk mengenang tragedi berdarah pembantaian sedikitnya 21.037 warga Kalimantan Barat oleh tentara Jepang pada 28 Juni 1944.

Ternyata, arah menuju tugu Lo Fang Pak berbeda arah dengan monumen tragedi Mandor. Tepatnya, arah pasar Mandor lantas masuk kedalam kompleks pasar di sisi sebelah kanan. Nah, tugu tersebut berada tepat di belakang samping SDN 20, Jalan Kopiang, Desa Mandor.

’’Memang, lebih banyak yang tahu makam Mandor (monumen peringatan, red),’’ ujar Effendi. Terkait tugu ditempatnya, dia membenarkan kalau obelisk tersebut diperuntukkan untuk menghrmati Lo Thai Pak (sebutan Lo Fang Pak bagi orang Mandor). Namun, dia menggeleng saat ditanya lebih dalam siapa, dan apa itu kongsi Lan Fang.

Yang Effendi ingat, pernah ada sebuah kelenteng di dekat tugu tersebut. Namun, dengan sangat terpaksa bangunan yang dulu berada tepat disamping SD tersebut dibongkar oleh warga. ’’Sudah tidak ada lagi yang sembahyang disana. Akhirnya dibongkar 2005 lalu,’’ imbuhnya.

Tugu tersebut kini berada dibelakang dua rumah warga. Hanya berbentuk bangunan tinggi dengan panjang sekitar 3,5 meter yang dikeliling pagar setinggi paha orang dewasa. Di badan tugu terdapat sebuah tulisan dalam bahasa mandarin berukuran besar berwarna merah.

Sementara empat sisi bagian bawah juga terdapat tulisan dalam bahasa mandarin. Diantara pagar tersebut terdapat sebuah patung singa. Selebihnya, ilalang yang mengelilingi bangunan dengan luas sekitar 4×4 meter itu. Beberapa artikel di internet menyebut kalau tugu itu dibangun tepat di area kantor Lo Fang Pak.

Tidak terlalu luas memang, namun saat Jawa Pos kesana Selasa (14/8) masih ada bekas orang sembahyang. Terlihat dari adanya bekas lilin dan mangkuk putih yang belum dibersihkan. Menurut Effendi, biasanya warga Tionghoa yang melakukan penghormatan bakal membersihkan areal tugu juga.

’’Tapi itu sangat jarang, belum tentu sebulan sekali ada yang datang,’’ tandasnya. Dia juga tak tahu pasti kapan tepatnya tugu tersebut dibangun. Bahkan, saat dia berusaha bertanya pada beberapa orang, jawaban itu tak kunjung ditemukan. Apalagi, para tetua khususnya yang masih memiliki darah Tionghoa sudah tak ada lagi di Desa Mandor.

Satu hal yang bisa dia pastikan, usia tugu tersebut lebih tua dari dirinya. Sebab, saat dia masuk sebagai penduduk desa tersebut pada 1978, tugu tersebut masih ada. Tidak ada banyak perbedaan kecuali kelenteng yang sudah dirobohkan warga.

Minimnya kepedulian membuat monumen tersebut memiliki berbagai fungsi selain sembahyang. Beberapa pengunjung ada juga yang nekat menjadikan tugu tersebut sebagai sarana untuk mencari nomor togel. ’’Ada saja yang kesana untuk mencari nomor, entah siapa yang memulai,’’ katanya heran.

Namun, pria yang sudah menjabat sebagai kepala desa selama lima tahun itu tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada yang bisa memonitor atau membebani kewajiban kepada warga yang akan bersembahyang untuk melapor ke dirinya. Sementara ini, dia hanya mengandalkan dua keluarga yang tinggal di dekat tugu.

Lantas, apa saja peninggalan kejayaan republik Lan Fang? Effendi terdiam cukup lama sebelum kepalanya kembali menggeleng. Kemudian dia berkata, kalau bisa disebut peninggalan mungkin danau-danau disekitar Mandor. ’’Semuanya terbentuk dari galian emas waktu dulu. Lantas terisi air dan jadi danau,’’ jelasnya.

Dengan ragu-ragu dia bertanya apakah keberadaan pasar yang menjadi gerbang Desa Mandor juga bisa dijadikan warisan era kongsi. Meski dia tidak yakin apakah usia pasar tersebut ada kaitan dengan cerita Lo Fang Pak, Effendi memastikan kalau itu peninggalan warga Tionghoa.

Dia mengklaim sampai sekarang tidak ada bangunan yang diubah meski sudah jadi milik pribumi. Memang, saat melintas komplek pasar tersebut masih banyak warga yang berjualan dari rumah kuno. Namun rasa oriental masih kurang terasa karena bangunan tersebut tidak banyak memiliki ciri arsitektur Tiongkok.

Atap misalnya, bangunan di pasar Mandor menggunakan seng. Tidak tampak adanya atap bergaya Tiongkok yang memiliki ciri melengkung dan menonjol diujung lengkap dengan ukiran. ’’Ditinggalkan seperti ini saat terjadi peristiwa mangkuk merah pada 1967 lalu,’’ urainya.

Ketakutan warga Tionghoa membuat mereka meninggalkan Mandor dan berlindung di tempat lain. Padahal, warga Tionghoa bisa dikatakan sebagai penduduk asli wilayah tersebut. Bersandingan hidup rukun dengan etnis Madura, Melayu dan Dayak.
Any Rahmayani, peneliti dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak menjawab kenapa kondisi Desa Mandor menjadi seperti itu. Menurutnya, situasi saat ini merupakan cerminan saat kongsi-kongsi mulai dihancurkan Belanda. ’’Meski masih ada sisa hingga 1914, tidak bisa mengulangi kejayaan lagi,’’ katanya.

Dia lantas membuka berbagai buku, salah satunya milik Pieter Johannes Veth. Ilmuwan asal Belanda itu menulis buku berjudul Borneo Bagian Barat dalam dua edisi. Ada juga buku tentang Kongsi Lanfang yang ditulis oleh Syafaruddin Umar, seorang peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat.

Disebutkan kalau diakhir kejayaan Lan Fang, penduduknya berkurang dari 7.500 jiwa menjadi 1.060 orang saja. Perang antar kongsi membuat kondisi Lan Fang makin mengenaskan, bahkan jalan raya yang dibangun oleh Letkol Vetter dari pemerintah kolonial sejak 1900 tak bisa lagi dipergunakan.

Mandor juga dikabarkan sudah mulai lesu, Lan Fang tidak bisa lagi memperoleh pendapatan yang mencukupi dari hasil tambang. Bahkan, pemimpin terakhir Republik tersebut, Lioe A Sin mencoba membiayai pengeluaran dari sakunya sendiri. ’’Dia punya bisnis candu (opium) yang besar,’’ terangnya.

Lebih lanjut penulis buku Pemukiman Tionghoa di Singkawang Abad Ke 18 itu menjelaskan kalau perselisihan sebenarnya juga diciptakan oleh kongsi sendiri. Semua kongsi, dijelaskan Any suka tidak memberi upeti seperti yang ditargetkan oleh kesultanan. Dari jumlah yang diminta, lama-lama dikurangi dengan alasan tak mampu membayar.

Ucapan para pemimpin kongsi itu berbanding terbalik dengan menguatnya Lan Fang, Thaikong, dan Samtiaokioe. Sadar para pekerja tidak lagi bisa dikendalikan, kesultanan marah dan berusaha untuk mengendalikan dengan menggandeng Belanda. ’’Kolonial setuju karena sadar kalau wilayah yang jadi sengketa punya banyak deposito emas,’’ tuturnya.

Soedarto, sejarawan lainnya yang berusia 79 tahun mengatakan kalau saat itu Belanda punya tiga kepentingan dalam menumpas kongsi-kongsi. Pertama, mereka tidak ingin Sir James Brooke, Raja Putih pertama Kerajaan Sarawak itu keluar dan ikut campur. Kedua, tentu saja Belanda ingin meluaskan darah jajahan.

’’Terakhir, tentu karena ada permintaan dari kesultanan untuk membereskan kongsi,’’ urainya.

Nah, dari usaha Belanda untuk menghancurkan kongsi-kongsi, mereka mengalami kesulitan untuk menghancurkan Lan Fang. Belanda mengakui kalau kongsi yang didirikan Lo Fang Pak itu paling sulit ditaklukkan.

Suasana Kelenteng Lo Fang Pak di Sungai Purun Besar

Kejayaan Lan Fang, “Berlanjut” di Singapura, Nenek Lee Kuan Yew Orang Hakka dari Pontianak

Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew termasuk keturunan Lan Fang. Sayang, restorasi jejak kebesaran republik pertama di Nusantara tersebut justru lebih gencar dilakukan di Negeri Singa.


LAN Fang memang sudah hancur pada 1884. Namun, “kelanjutan” republik -kendati tak secara langsung- yang didirikan oleh Lo Fang Pak di Kalimantan Barat itu bisa dilihat di Singapura sekarang ini. Setidaknya dalam bentuk banyaknya warga Negeri Singa itu yang merupakan keturunan dari warga republik pertama di tanah air tersebut dan menduduki posisi penting di sana.

Alkisah, pada 1884, Singkawang, Kalbar, wilayah di mana Lan Fang berada, menolak dikuasai Belanda. Akibatnya, wilayah yang saat ini dijuluki Kota Seribu Kelenteng itu diserang. Warga setempat pun kocar-kacir setelah sempat bertahan selama empat atau lima tahun dengan bertempur. Mereka melarikan diri ke Sumatera, lantas ke Medan.

Beberapa orang kemudian melanjutkan pelarian hingga Singapura dan melanjutkan pembangunan. Juga, tentu beranak pinak. Salah satu keturunan itu adalah mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (LKY), sosok yang membuat negeri jiran Indonesia tersebut maju dan makmur seperti saat ini.

“Chua Kim Teng (kakek LKY, Red) lahir di Singapura pada 1865. Setelah istri pertama dan kedua meninggal, dia menikah dengan Neo Ah Soon, nenek saya, seorang Hakka dari Pontianak yang saat itu dikuasai Belanda. Dia berbicara dengan dialek Hakka dan bahasa Indonesia Melayu,” ujar LKY.

Ucapan itu disampaikan Bapak Pembangunan Singapura itu dalam bukunya yang berjudul From Lee Kuan Yew, The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew. Adapun menurut Kao Chung Xi dalam bukunya tentang orang Hakka, Jews of the Orient, orang Hakka minoritas di Singapura. Tapi, mereka memainkan peran penting dalam mendirikan Kongsi Lan Fang yang kedua di Singapura.

Seperti pernah diturunkan secara bersambung di harian ini pada 15-17 Agustus lalu, Lan Fang yang berawal dari sebuah kongsi tambang orang Tionghoa dari etnis Hakka itu tumbuh menjadi semacam “negara di dalam negara”. Lan Fang yang berdiri pada 1777 tersebut memang masih membayar upeti tanda tunduk kepada Kesultanan Sambas dan Mempawah di Kalbar, tapi sehari-hari mereka sangat otonom.

Karena tata pemerintahannya sangat demokratis jika dibandingkan dengan kongsi-kongsi lain yang umumnya bergaya feodal, secara tak langsung Lan Fang pun mendapat julukan “republik”. Diberi tanda kutip karena secara de facto, tidak ada pengakuan internasional kepada republik yang dipimpin Lo Fang Pak tersebut. Meskipun, kenyataannya, syarat untuk terbentuknya sebuah republik telah terpenuhi. Tak cuma punya rakyat dan wilayah, Lan Fang rutin menghelat pemilu untuk memilih “presiden”. Lan Fang juga memiliki sistem perekonomian, perbankan, dan hukum sendiri. Republik itu mampu bertahan hidup selama 107 tahun.

Kisah sejarah Republik Lan Fang sejatinya mulai direstorasi oleh berbagai pihak. Salah satunya adalah situs lanfangchronicles.wordpress.com, yang tiga tahun ini sudah membuat pameran tentang Lan Fang di Singapura.

Berbagai peninggalan Lan Fang telah pula direstorasi. Mulai miniatur bentuk uang, menara perlindungan, lukisan-lukisan, hingga foto zaman dahulu. Mereka juga membuat pergelaran puisi tentang perang kongsi. Pergelaran tersebut bahkan masuk menjadi agenda rutin Singapore Art Fest. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah.

Soedarto, sejarawan Kalbar, saat ditemui Jawa Pos di Pontianak pertengahan bulan ini memaklumi hal itu. Sebab, arsip-arsip tentang Lan Fang sudah tidak ada lagi di tanah air. Termasuk juga arsip-arsip sejarah lainnya. “Semuanya ada di luar, dibawa Raffles (Thomas Stamford Bingley Raffles, mantan gubernur jenderal Inggris di Indonesia dan pendiri Singapura, Red) ke Inggris,” katanya.

Dia menyebutkan bahwa arsip negara yang dibawa menuju Inggris mencapai 30 ton. Kalau Indonesia mau menelusuri perjalanan sejarah bangsa secara utuh, arsip-arsip itu harus dikembalikan. Jika masih berada di Museum Royal London, penelusuran tersebut sangat sulit untuk dilakukan.

Bercerita tentang ketidakpedulian akan sejarah bisa jadi sudah membosankan. Itulah kenapa Soedarto hanya bisa diam saat mengingat beberapa arsip tentang masa lalu Kalbar sudah menghilang. “Termasuk syair Perang Kenceng, bagian dari perang antarkongsi itu, kini ada di Malaysia,” terang dia.

Dia ingat, hilangnya arsip dari tanah air bukan hanya terjadi saat era penjajahan. Pasca kemerdekaan juga ada. Prasasti dan arsip tersebut dijual dengan satu alasan: ekonomi. Soedarto menyebut, barang berharga itu rela ditukar dengan rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dengan dasar itulah, Soedarto mengaku tak tahu banyak tentang keturunan Lo Fang Pak. Yang bisa dia pastikan adalah para pemimpin Lan Fang harus murni orang Hakka. Benar-benar pure orang Tionghoa dari tanah Tiongkok. Mereka yang lahir di tanah Borneo dapat dipastikan tak bisa duduk di puncak pimpinan.

Terkait dengan keabsahan keturunan orang-orang Lan Fang di Singapura, Soedarto yang mantan guru sejarah tersebut menjawab bisa jadi seperti itu. Kuatnya Lan Fang menjadi daya tarik bagi orang perantauan Tiongkok untuk terus datang. Bahkan, Pontianak dulu menjadi tempat transit bagi mereka yang ingin pergi ke Mandor, ibu kota Lan Fang.

“Sampai sekarang, semuanya tersebar sampai ke mana-mana,” terangnya. Bagaimana peninggalan budaya? Soedarto mengatakan ada. Namun, dia tidak sepakat kalau itu dikatakan sebagai kebudayaan yang dibuat khusus oleh Lo Fang Pak dan pemimpin Lan Fang lainnya. Sebab, mereka hanya “menularkan” kebiasaan tersebut ke Kalbar.

Misalnya konsep teahouse atau rumah minum teh. Warga keturunan dahulu pasti punya tempat khusus untuk minum teh. Entah di rumah mereka atau di sekitar perkampungannya. Meski sekarang teahouse mungkin sudah tak ada, bentuk lain dari kebudayaan itu masih bisa ditemui.

“Budaya warung kopi itu sebenarnya berasal dari orang-orang Tionghoa. Mereka biasanya minum bersama banyak orang sambil membicarakan banyak hal,” sebut dia. Efek lainnya ada pada orang-orang Tionghoa saat ini. Versi Soedarto, mereka masih disebut peranakan karena tetap konsisten dengan budaya mereka.

Padahal, warga Tionghoa asli Kalbar saat ini bisa dipastikan sudah melakukan akulturasi, terutama dengan orang Dayak. Itu bisa dipastikan karena saat datang ke Kalbar pada 1770-an, mereka datang sebagai bujangan. Kolonial dan kesultanan tidak memperbolehkan mereka membawa istri.

Kalaupun mereka kemudian mencoba mempertahankan kemurnian dengan menikahi sesama orang Tionghoa, tetap saja nenek mereka adalah orang Dayak. Karena itu, Soedarto agak kurang sreg menyebut warga Tionghoa di Kalbar yang mencapai 12 persen sebagai peranakan.

“Banyak yang sudah campuran, apalagi generasi sekarang juga makin membuka diri,” tuturnya.

Budayawan lain, Xaverius Fuad Asali, juga menyebutkan bahwa peninggalan budaya Lo Fang Pak sama dengan kebudayaan Tiongkok sendiri. Itulah kenapa dia menyebut tak ada budaya dengan ciri khas khusus yang dibawa Lo Fang Pak.

Dia lantas menjelaskan ciri khas orang Hakka yang menginjakkan kaki di Kalbar. Semuanya datang seorang diri alias bujangan, tanpa membawa istri. Mereka tidak mempermasalahkan hal itu. Sebab, orang-orang Hakka dikenal rajin dan hemat. “Kalau buyut saya masuk tahun 1850-an,” ingatnya.

Kedatangan orang-orang Hakka semacam Lo Fang Pak dan teman-temannya itu relatif tidak menimbulkan gesekan sosial. Sebab, orang Hakka dikenal mampu membawa diri, ibarat pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di samping itu, sebagai pendatang, mereka juga punya keterampilan.

X.F. Asali menyebutkan, keterampilan itu adalah bertani. Ada juga yang datang sebagai guru seperti Lo Fang Pak, tukang besi, tukang emas, tukang kayu, hingga pembuat kerajinan tangan. Kemampuan melebur tersebut terbukti hingga sekarang. Tak pernah ada konflik besar. “Buyut perempuan saya juga orang Dayak,” akunya.

Itu sebabnya, kalau dikaitkan dengan pelarian orang-orang Hakka Kalbar ke Singapura dan melakukan pembangunan bisa jadi benar. Apalagi, Any Rahmayani, peneliti dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, menyebut orang-orang Lan Fang mampu berdagang ke beberapa daerah dan negara.

Berbagai referensi juga menyebutkan bahwa Lan Fang memiliki hubungan perdagangan yang disebut dengan segi tiga emas. Yakni, menghubungkan antara Lan Fang, Tiongkok, dan negara di Semenanjung Malaysia hingga Vietnam. “Lemahnya kesultanan yang hanya tertarik dengan upeti membuat Lan Fang bebas bertransaksi dengan yang lain,” tuturnya.

Embrio tersebarnya orang-orang Hakka yang menjadi penduduk Lan Fang terlihat jelas dari pola perdagangan itu. Memang masih perlu banyak pembuktian akan keterkaitan antara Singapura dan Lan Fang. Namun, itu bisa menjadi awal yang tepat bagi pemerintah untuk menggali lebih dalam tentang Lan Fang. Supaya kisah tesebut tetap besar di Indonesia, tidak hanya di negara tetangga. (*/c11/ttg)

Pasar Mandor, bangunan masih asli seperti saat ditinggalkan orang Tionghoa

11 comments On Menelusuri Sisa-Sisa Kejayaan Lan Fang, ”Republik” Pertama di Indonesia

  • Pingback: Menelusuri Sisa-Sisa Kejayaan "Republik" Lan Fang | Stories ()

  • Sekarang bila cukup memiliki kepedulian sejarah ,kaum haka harusnya mencari sisa2 peninggalanya….dimana perkuburan para Presiden kongsi? adakah anak cucunya…cari catatan sejarahnya(hal paling penting dari history pencatatan)kala itu sytem adm nya cukup bagus,tata bangunan cukup bagus pasti banyak bukti tertulis.,….kenapa hanya lan fang saja perhatian kita gimana dgn 2 kongsi yg lain,semuany punya andil dlm sejarah kalimantan.

  • Benar sekali….lanfang hanya kongsi republik ,yg memiliki angkatan perang,sudah menjadi jiwa org hakka lebih mementingkan dagang dan bekerja dari pada wilayah(awalnya)…merantau guna mencari hidup yg lebih baik,…..masa 1777…yg namanya negara kala itu belum ada republik.selalu monarki, pimpinan terpusat 1 org centris, Anggapan kerajaan saat itu harus selalu centris,…dan org beranggapan kongsi dagang kala itu selalu Putusan pemegang saham lah hal yg tertinggi/ anggota..cth jelas VOC….,lanfang ini kongsi dagang ..setara VOC,..angkatan perang pasti punya,administrasi pasti ada,tetapi mmg ada tetapi tidak terakui karena belum menjadi kesultanan(centris) motivasi berdirinya lan fang agar perdagangan org Haka kuat dari pesaing2..bukan mencaplok wilayah ,seperti kebiasaan negara kala itu….pendapat saya akan berubah kecuali ada bukti lan fang memiliki wilayah kekuasaan yg bisa dia pertahankan/mengambil alih/menundukan wilayah musuh , mendudukinya,meminta upeti ,sprti apa yg belanda lakukan,karena Pengakuan ttg negri kala itu demikian…

  • Lan Fang hanyalah sebuah organisasi Kongsi, bukanlah sebuah republik…..seorang pemimpin dalam bahasa hakka selalu disebut Cungthung/presiden, dari istilah itulah maka sebagian org menyebutkan itu pemerintahan republik. Sejarah otentik tentang sebutan Kongsi Lanfong masih bisa dilihat di papan nama asli yg ada di kantor cabang Kongsi Lanfang di Sei Purun. Dan masalah ada yg menghendaki Lothaipak menjadi sultan adalah penawaran dari sultan lain yg pernah dibantunya…tentunya Lothaipak tidak mau menjadi Sultan yg berarti harus tunduk pada raja di Arab…dan juga berganti keyakinan bila beliau menjadi sultan.

  • rean-dayak kenyah

    ejarah Pulau Dayak / Pulau Kalimantan
    23.01 Marsia Mira Minata

    Sejarah Kalimantan (PULAU DAYAK) menggambarkan perjalanan sejarah Pulau Kalimantan dimulai sejak zaman prasejarah ketika manusia ras Austrolomelanesia memasuki daratan Kalimantan pada tahun 8000 SM hingga sekarang.[rujukan?]
    1. Zaman prasejarah

    Bangsa Austronesia memasuki pulau ini dari arah utara kemudian mendirikan pemukiman komunal rumah panjang. Peperangan antar-klan menyebabkan pemukiman yang selalu berpindah-pindah. Adat pengayauan yang dibawa dari Formosa (Taiwan) dan kepercayaan menghormati leluhur dengan tradisi kuburan tempayan merupakan ciri umum kebiasaan penduduknya. Pulau Kalimantan ini dikenal di seluruh dunia dengan nama Borneo yaitu sejak abad ke-15 M. Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol (bahasa Latin: Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang banyak tumbuh di Kalimantan,[1][2] kemudian oleh para pedagang dari Eropa disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol, Kerajaan Brunei yang ketika datangnya bangsa Eropa ke wilayah Nusantara ini nama Brunei itu dipelatkan oleh lidah mereka menjadi “Borneo”[rujukan?] dan selanjutnya nama Borneo ini meluas ke seluruh dunia. Nama Pulau ini di identikkan dengan nama Kerajaan Brunei[3] saat itu (Yaitu oleh para pedagang Arab, Eropa serta China) karena Kerajaan Brunei pada masa itu merupakan kerajaan yang terbesar di pulau ini, sehingga para pedagang dari seluruh penjuru dunia yang akan berkunjung ke Pulau ini yang ditujunya meraka adalah Kerajaan terbesar dipulau ini saat itu yaitu Kerajaan Brunei, sehingga pulau ini kemudian disebut Pulau Brunei yang oleh pedagang Eropa kemudian di pelatkan menjadi “Borneo”. Nama Kalimantan dipakai di Kesultanan Banjar kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia dipakai sebagai nama Provinsi Kalimantan.
    8000 SM : Migrasi manusia ras Austrolomelanesia memasuki daratan Kalimantan.
    2500 SM : Migrasi nenek moyang suku Dayak dari Formosa (Taiwan) ke Kalimantan membawa tradisi ngayau.
    1500 SM : Migrasi bangsa Melayu Deutero ke pulau Kalimantan.
    2. Zaman Pengaruh India (Agama Hindu)

    Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah (P’ulo Chung). Para pedagang asing datang ke pulau ini mencari komoditas hasil alam berupa kamfer, lilin dan sarang burung walet melakukan barter dengan guci keramik yang bernilai tinggi dalam masyarakat Dayak. Para pendatang India maupun orang Melayu yang telah mendapat pengaruh budaya India memasuki muara-muara sungai untuk mencari lahan bercocok tanam dan berhasil menemukan tambang emas dan intan untuk memenuhi permintaan pasar. Lokasi pertambangan emas berkembang menjadi pemukiman sehingga diperlukan adanya suatu kepemimpinan. Pengaruh India ditandai munculnya kerajaan tahap awal dengan pemakaian gelar Maharaja bagi pemimpin suatu kekerabatan (bubuhan) dan sekelompok orang lainnya yang bergabung dalam kepemimpinannya dalam kesatuan wilayah wanua (distrik), yang saling berseberangan dengan wanua-wanua tetangganya yang dihuni keluarga lainnya dengan dikepalai tetuanya sendiri. Gelar India Selatan warman (yang melindungi) dilekatkan pada penguasa wanua tersebut, yang kemudian memaksa wanua-wanua tetangganya membayar upeti berupa emas dan hasil alam yang laku diekspor. Klan-klan (bubuhan) mulai disatukan oleh suatu kekuatan politik yang memusat menjadi sebuah mandala (kerajaan) yang sebenarnya bukan tradisi Austronesia. Kerajaan awal ini sudah merupakan campuran ras yang datang dari beberapa daerah, tetapi di pedalaman bangsa Austronesia masih hidup dalam komunitas rumah panjang yang mandiri dan terpisah serta saling berperang untuk berburu kepala.

  • rean-dayak kenyah

    kalian salah semua.!

  • lanfang bukan lah negara tapi sebuah kong, dan kongsi yang mereka terapkan adalah sistem demokratic yang ber berhulu ke republik…
    negara itu terbentuk karena adanya, pengakuan dari negara lain, rakyat, wilayah, dan hukum,

  • Sdr Sofyan: 1777 adalah tahun yang sangat lama Indonesiapun belum ada. Ini fakta sejarah bukan mengada-ada. Justeru pernyataan anda yang mengada-ada. isi hati anda cemburu bahwa ternyata sebelum Indonesia ada Lanfang lebih dulu ada.

  • Sdr Sofyan: Anda anti sejarah. Anda menolak fakta dan anda tidak bisa disebut sebagai pengamat sebab isi hati anda adalah kebencian saja dan iri hati dan menolak fakta. Semua juga tahu Lanfang adalah sebuah wilayah dengan pemerintahan demokratis sendiri yang pada saat jaman kerajaan sistem demokrasi tidak dikenal tetapi Lanfang sudah melakukannya makanya disebut REPUBLIK. Jika anda tahu arti kata Republik maka anda akan tahu kenapa dia disebut republik. Sistem yang diterapkan Lanfang sebuah kongsi itu sudah seperti sebuah republik, ada pemilu, ada pemerintahan alias ada presiden, ada tata kenegaraannya dan ada sistem hukum yang mengaturnya makanya disebut republik. Nah Singapura adalah hasil dari apa yang dicita-citakan Lo Fok Fang atau Republik Lanfang. Anda justeru berbicara “Republik Lanfang Tidak Pernah Ada”. Anda benar-benar buta sejarah. Sekalipun anda bilang tidak pernah ada tapi faktanya memang ada, dan Lee Kwan Yeu salah satu keturunan dari Kalbar dan pendiri Republik Singapura.

  • Otonomi khusus jidat lu, sangking besarnya kekuatan lanfang, sultan pontianak aj minta perlindungan dari lanfang,
    lanfang bayar upeti ke dinasti di daratan tiongkok bukan ke sultan.

  • Republik itu secara resmi adalah sebuah negara merdeka bro. Kasus La fang sendri kalo di sejarah kita juga tau kalo La Fang itu adalah hanya sebuah Kongsi (Perkumpulan) bukan Negara Resmi. Perkumpulan manapun pasti mempunyai sistem management (termasuk La Fang). Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan saat itu menurut pemahaman ‘zaman sekarang ini’ adalah sangat
    demokratis yaitu Ketua Kongsi dipilih melalui pemilihan umum oleh seluruh warga Kongsi. Karena cara pemilihan ini sehingga oleh sebagian orang yang “menterjemahkan” tulisan
    Yap Siong Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir)dan tulisan J.J. Groot (sejarawan Belanda)
    mengenai Kongsi Lan Fang yang di ‘interpretasikan’ TERLALU JAUH atau BERLEBIHAN sehingga Kongsi Lan Fang diartikan sebagi
    “Republik Lan Fang” padahal di dalam kedua-dua tulisan asli itu TIDAK ADA KATA ‘REPUBLIK’. kata Republik adalah untuk sebutan bagi suatu negara / wilayah yang
    merdeka sedangkan Kongsi Lan Fang saat walaupun mendapat status OTONOMI khusus namun tetap berada
    dibawah naungan Kesultanan
    Pontianak sehingga bukan
    merupakan suatu negara merdeka. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai “Republik Lan Fang” itu TIDAK PERNAH ADA, yang ada adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat status otonomi khusus dari Sultan Pontianak.

    Sebenarnya siapa saja bisa menggunakan istilah Republik, seperti Republik Cinta si Ahmad Dhani hehehe

Leave a Reply