Developer lokal untuk industri game di berbagai platform terus menggeliat. Termasuk Digital Happiness, studio game di Bandung yang membidani lahirnya Dreadout, game horor 3D (tiga dimensi) asli Indonesia.
DHIMAS GINANJAR, Jakarta
—
SEUSAI ujian nasional menjadi momen menyenangkan bagi Linda, Shelly, Ira, Yayan, Doni, dan salah seorang gurunya, Siska. Masih mengenakan seragam putih abu-abu, para siswa SMA Arwana 5 itu menjauh dari Bandung dengan mobil multipurpose vehicle (MPV) merah untuk melepas penat.
Entah jalan mana yang membawa mereka masuk ke pegunungan. Yang pasti, mereka tak bisa melaju lagi ketika mendapati sebuah jembatan ambrol di depannya. Di ujung jalan tersebut, terdapat sebuah barikade, pertanda jalan tidak bisa dilewati. Penasaran, mereka lantas turun dari mobil untuk melihat keadaan.
Menenteng kamera single-lens reflex (SLR) di tangan kanan, Linda mulai mengabadikan gambar teman-temannya yang mengamati sekitar. Perempuan itu semakin larut hingga berjalan di bawah jembatan yang rusak. Dari bawah, dia melihat sebuah kota yang telah ditinggalkan di daerah seberang.
Rasa penasaran membuat mereka memutuskan untuk memasuki kota tersebut. Bersamaan dengan mereka memasuki kota kosong itu, peristiwa aneh mulai terjadi. Satu per satu teman Linda menghilang.
”Mereka terjebak di situ. Linda tidak menyadari hal itu,” ujar Rachmad Imron, produser game Dreadout, saat ditemui di Tis Square, kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Dia menambahkan, Linda akhirnya menggunakan kameranya untuk mencari teman-temannya yang hilang itu. Sebab, setiap jepretan yang dihasilkan menunjukkan gambar tersembunyi. Mulai tembok yang terlihat biasa saja tapi menyimpan ”kata tolong”, ruang kelas yang kosong tapi banyak darah di lantai, hingga hantu-hantu berkeliaran.
Itulah penggalan game Dreadout yang dibuat pria 34 tahun tersebut bersama tujuh temannya. Mereka adalah Vadi Vanadi Buchari (director), Erwin P.S. (lead programming), Tri Sulistio (lead technical), Rendy Fajar Basuki (character design), Fikki Fauzi (lead 3D artist), serta Dwi Arief Irawan dan Sukmadi Rafiuddin yang menjadi 3D artist merangkap co-producer.
Di Digital Happiness, studio yang mereka dirikan di Bandung, itulah game horor 3D tersebut dibangun. Selama 1,5 tahun proyek itu berjalan hingga akhirnya mereka mulai close production pada Desember ini. ”Paling lambat Maret 2013 episode pertama sudah siap edar. Mohon doanya,” imbuhnya lantas tersenyum.
Pria asal Mojokerto itu menjelaskan, lamanya proses kreatif pembuatan game tersebut disebabkan banyak hal. Salah satunya, seluruh anggota tim juga mengerjakan proyek lain. Selama ini, mereka sudah bergabung di Iris Desain, konsultan kreatif dan rumah produksi animasi 3D. Proyek mereka, antara lain, membuat animasi 3D teknis pekerjaan konstruksi, hingga animasi 3D safety induction.
”Bisa dikatakan Dreadout adalah proyek idealisme kami,” kata Imron.
Salah satu bentuk idealisme itu terlihat dari dana untuk membiayai proyek tersebut yang semua berasal dari kantong pribadi anggota tim. Mereka patungan. Itu dilakukan karena investor masih ragu untuk menanamkan uangnya dalam proyek tersebut.
”Proyek Dreadout sempat hampir macet. Sebab, uang kami menipis,” tutur suami Yoane Fitria itu.
Dilema lainnya, mereka harus mengerjakan proyek utama sebagai konsultan kreatif dan rumah animasi 3D. Di satu sisi, mereka bisa tersenyum karena diguyur keuntungan dari proyek itu, sehingga hasilnya bisa membiayai Dreadout. Di sisi lain, waktu mereka tersita untuk menggarap proyek utama tersebut.
Meski belum ada investor yang masuk, tim Digital Happiness tetap optimistis bisa menyelesaikan Dreadout sesuai target. Padahal, uang yang dikeluarkan untuk proyek itu sudah ratusan juta.
”Secara komunitas gamers Indonesia maupun luar negeri banyak yang mendukung Dreadout. Tapi, itu tidak cukup untuk meyakinkan investor. Apalagi, game yang kami bikin bukan bertipe kasual untuk platform iPad atau Android. Kami sengaja menghindari yang mainstream,” tambah lulusan Desain Produk ITB 2001 itu.
Keteguhan hati Imron dkk sempat goyah karena tergiur untuk menjadikan Dreadout sebagai casual game pada saat awal pengembangan. Namun, setelah dipikir-pikir, mereka mengurungkan niat tersebut. Penyebabnya, tenaga yang menggarap proyek itu terbatas. Padahal, platform Android atau iPad menuntut tenaga lebih dan harus bekerja cepat.
Akhirnya, mereka memantapkan diri membuat game untuk platform personal computer (PC) saja. Agar tetap bisa menjangkau banyak pemain, mereka memilih Dreadout sebagai nama produk. ”Gabungan kata dread dan out yang berarti tertatih-tatih untuk keluar,” jelasnya.
Kenapa memilih genre horor? Alumnus SMAN 1 Sooko, Mojokerto, itu dengan mantap mengungkapkan bahwa animasi 3D jenis horor lebih mudah dibuat. Dreadout adalah proyek awal Digital Happiness dengan skala cukup besar. Sebelumnya, mereka membuat game mini tribute untuk film The Raid: Serbuan Maut ”Hallway Raid” yang bisa di-download gratis puluhan ribu user di seluruh dunia.
Tapi, game itu tidak bisa diteruskan ke versi berbayar karena terganjal hak kekayaan intelektual dengan pemilik lisensi film yang dibintangi Iko Uwais tersebut. ”Dulu kami berencana membuat game dengan tema perang 10 November, tapi makan waktu dan survei yang cukup panjang. Salah sedikit saja, bisa-bisa kami diprotes karena merusak sejarah. Akhirnya, kami pilih game horor karena tidak butuh survei berat. Cukup dari urban legend yang selama ini kami dengar,” jelasnya.
Karena itu, saat game tersebut keluar nanti, pasti banyak gamer yang bisa menebak dari mana inspirasi bangunan-bangunan yang menjadi lokasi permainan. Salah satunya di Lawang Sewu, Semarang, yang terkenal angker.
Di samping itu, tim Digital Happiness rata-rata gamer freak untuk genre horor. Siren, Silent Hill, Resident Evil, Demon Soul, Dark Soul, Castlevania, hingga Fatal Frame adalah game-game yang kengeriannya sudah mereka taklukkan.
”Banyak yang bilang Dreadout mirip Fatal Frame. Kami akui, game itu cukup menginspirasi. Dreadout merupakan surat cinta kami kepada pengembang Fatal Frame dan genre survival horor pada umumnya,” terangnya.
Dalam membuat game dengan teman-teman sendiri, diakui Imron, lebih banyak cerita ngalor-ngidul. Bila sudah jenuh, mereka memilih refreshing dengan bermain game. Ujung-ujungnya, mereka kembali membahas konsep yang bisa diterapkan di Dreadout. Sampai-sampai, tanpa terasa, mereka duduk di tempat yang sama hingga selama 14 jam.
”Ingin sih seperti top developer yang survei sembari liburan. Lha, kami liburan ke mana? Wisata di alam gaib?” ucapnya lantas terkekeh.
Pernah ada kejadian lucu saat mereka mendemokan Dreadout dalam sebuah pameran. Seorang paranormal menawarkan diri untuk masuk menjadi bagian dari tim Digital Happiness. Tujuannya, game itu bisa lebih akurat dalam menggambarkan hantu. Tapi, usul tersebut ditolak mentah-mentah.
Kini saat proyek itu memasuki tahap akhir, mereka kembali khawatir. Sebab, pembajakan karya di Indonesia masih merajalela dan seperti dibiarkan. Karena itu, mereka sedang memikirkan strategi pemasaran yang lebih tepat, sehingga mampu menekan kasus pembajakan.
Menurut rencana, Dreadout akan dipasarkan melalui cloud seperti Windows Store dan Steam (portal dan distributor terbesar dengan 54 juta user aktif di seluruh dunia). Mereka juga mulai berkampanye di Steam. Melalui program steam greenlight, mereka berkompetisi dengan ribuan developer dunia.
”Alhamdulillah, dalam waktu kurang dari tujuh hari, Dreadout sudah mencapai target voting 70 persen dari seluruh user dunia,” ujar ayah Akal Ranadaya Rachmad itu. (*/c5/ari)