Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menggalang dana bagi anak-anak kurang beruntung. Namun, cara Scott Thompson termasuk nekat. Dia berlari dari Bali ke Jakarta.
DHIMAS GINANJAR, Jakarta
—
USIA Scott Thompson sudah menginjak 44 tahun. Namun, saat dia tiba di Driving Range Senayan pukul 09.00 kemarin (1/4), raut kelelahan tidak terlalu tampak di wajahnya. Padahal, dia baru saja menyelesaikan lari maraton dengan jarak tempuh sangat jauh dari Bali ke Jakarta. Thompson melahap rute sepanjang sekitar 1.250 kilometer itu dalam 25 hari.
Menggunakan kaus dan topi putih Adidas, Thompson mengumbar senyum kepada orang-orang yang menyambutnya pagi itu. Ucapan selamat membanjiri pria dari Skotlandia itu begitu dirinya menginjakkan kaki di garis finis.
“Saya tidak bisa menyampaikan banyak hal. Saya masih tidak percaya bisa sampai sini (Jakarta),” ujarnya dengan wajah ceria dan penuh kebanggaan.
Di kaus putihnya terdapat tulisan berwarna merah “Scott Thompson’s, Bali-Jakarta 1.250 Km Charity Run”. Itulah jawaban dari pertanyaan dalam rangka apa bule “gila” tersebut mau berlari jauh-jauh dari Pulau Dewata ke ibu kota. Kampanye dengan tagline berlari terus itu dia gunakan untuk mengumpulkan uang bagi anak-anak penderita kanker dan anak-anak putus sekolah.
Thompson lantas memberikan bocoran tentang dua hal yang membuat dirinya bisa bertahan melintasi 30 kota di lima provinsi itu. Yakni, Mary’s Cancer Kiddies (MCK) dan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Dua lembaga itulah yang “diperjuangkan” Thompson dalam proyek kemanusiaan tersebut.
“Mereka jadi alasan bagi saya untuk terus berlari,” imbuhnya, lantas tersenyum.
Thompson tidak menyangka bahwa banyak donatur yang bersemangat mendukung aksinya itu. Buktinya, selama perjalanan dia mampu mengumpulkan dana hingga Rp 3,8 miliar. Sebagian dana tersebut datang dari sponsor yang bersedia mendonasikan Rp 1 juta untuk setiap 1 kilometer (km) yang dilalui Thompson. Padahal, Thompson mampu melahap rute sepanjang 1.250 km. Artinya, donasi dari sponsor Rp 1,250 miliar.
Ya, uang yang didapat dari berlari itu memang digunakan untuk kegiatan amal. Semua uang bakal digunakan sebagai dana pendidikan bagi anak putus sekolah serta anak-anak pengidap kanker. Atas kegigihan dan komitmen itu, Thompson mendapat penghargaan dari YCAB dan MCK.
Ide gila itu muncul ketika pria yang sudah tinggal di Indonesia selama delapan tahun tersebut prihatin dengan kondisi anak-anak kurang beruntung di negeri ini. Dia lantas menghubungi YCAB untuk mengutarakan niatnya membantu mencarikan dana. Namun, surat elektronik yang dialamatkan ke CEO YCAB Veronica Colondam membuat geleng-geleng. Sebab, untuk mengumpulkan dana itu, Thompson menyatakan akan berlari maraton dari Bali ke Jakarta. Tentu saja Veronica tidak langsung mengiyakan permintaan itu.
Namun, Thompson tidak menyerah. Dia juga “melampirkan” data ketangguhannya saat menaklukkan Gurun Sahara pada 2010. Itu juga aksi penggalangan dana kemanusiaan.
Saat itu Thompson rela melintasi panasnya Gurun Sahara yang mencapai 50 derajat Celsius untuk membantu pengobatan kanker di Indonesia. Hasilnya, dia berhasil mengumpulkan dana USD 30 ribu atau sekitar Rp 270 juta dari aksi menaklukkan padang pasir sejauh 250 km tersebut.
Veronica lantas mengonsultasikan rencana Thompson menggalang dana dengan berlari maraton itu ke Kementerian Pemuda dan Olahraga pimpinan Andi Mallarangeng. Setelah ide aksi tersebut disetujui, Thompson yang direktur PT Harum Energy itu melaksanakan niatnya. Pada 8 Maret pukul 06.30 Wita, dia memulai perjuangannya menaklukkan rute ribuan kilometer menuju ibu kota.
Insinyur pertambangan itu berlari sejauh 50 km per hari. Dia lari dengan kecepatan rata-rata sekitar 7 km per jam. Artinya, dia harus berlari tujuh jam setiap hari.
“Tidak ada persiapan khusus. Anak-anak malang itulah yang menjadi alasan saya tetap bertahan hingga finis,” jelas Thompson.
Meski tidak ada persiapan khusus, Thompson sudah terbiasa berlari sehingga otot-otot kakinya tidak kaku. Setiap akhir pekan dia berlari dari Sentul, Bogor, ke kawasan Menteng, Jakarta. Rute itu berjarak sekitar 50 km.
Berlari sejauh 1.250 km selama 25 hari tentu bukan perjalanan tanpa cobaan. Selain terik matahari dan perubahan cuaca yang mengganggu, Thompson mengalami cedera otot kaki. Jarak tempuh itu juga “memakan” tujuh pasang sepatu. “Saya disiapi 12 sepatu, namun tujuh sepatu jebol di perjalanan,” terangnya.
Selain luka lecet di kaki, bobot tubuh Thompson juga menurun hingga 3 kg. Meski tidak seberapa, dia tetap bahagia memperoleh hasil itu.
Namun, dia sempat sedih karena salah seorang sahabatnya yang ikut mempersiapkan aksi ini, Mark Kennedy, meninggal dunia. ”Ini hal tersulit yang saya rasakan secara fisik dan mental. Dia sahabat yang baik sekali,” katanya.
Di sisi lain, aksi gila itu menyisakan kenangan manis baginya. Sebab, selama perjalanan dia sering dibantu orang-orang yang ditemuinya. Seperti pada hari ketiga saat dia merasakan perih di lutut kiri. Dia mendapat pertolongan dari warga yang ditemuinya di jalan.
”Moral saya yang sempat drop langsung naik lagi,” tuturnya.
Apalagi, banyak warga yang menyambutnya di pinggir-pinggir jalan. Termasuk anak-anak Panti Asuhan Sanatana Dharma yang memberinya semangat dengan cara berdiri di pinggir jalan dan melambaikan tangan.
Thompson juga memperoleh kehangatan sambutan warga di rute yang dilintasi. Seperti saat di Situbondo, ada pasangan suami istri (pasutri) yang menemui dirinya. Pasutri itu mengaku mengenal Thompson dari tayangan televisi. Hebatnya, pasutri itu sengaja mencari Thompson semata-mata untuk memberikan semangat kepada pelari amatir itu.
Yang juga menambah motivasi adalah orang-orang yang ikut berlari mendampingi Thompson. Dia merasa terbantu karena memiliki partner berlari. ”Beberapa saya beri hadiah sepatu untuk kenang-kenangan,” ceritanya.
Tingkah laku warga yang hangat menyambutnya itulah yang menjadi alasan mengapa dia mau melakukan aksi gila untuk anak Indonesia. Meski berasal dari negara lain, dia mengaku sangat senang tinggal di Indonesia. Baginya, Indonesia adalah negara penting dan warganya adalah orang-orang spesial dalam hidupnya.
Sementara itu, pimpinan YCAB Veronica Colondam mengatakan, donasi dari Thompson bakal digunakan untuk membantu operasional yayasannya. Terutama, operasional 20 rumah belajar YCAB yang tersebar di enam provinsi. Total delapan ribu murid yang melanjutkan pendidikan di kejar paket A, B, dan C yang menjadi binaannya.
”Thompson membuktikan, melalui olahraga bisa membantu orang lain. Saya bangga kepada dia karena mau mengabdi untuk warga Indonesia,” kata perempuan yang akrab disapa Vera itu. (*/c2/ari)