Filipina bukan tujuan utama orang Indonesia untuk berlibur, sekolah, atau bekerja di Asia Tenggara. Karena itulah, hanya segelintir rumah makan yang menyajikan menu Nusantara. Berikut laporan wartawan Jawa Pos Dhimas Ginanjar yang baru pulang dari Manila.
—
HANYA perlu berjalan sekitar 10 menit dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Manila untuk menemukan Warung Indo. Rumah makan itu terletak di antara gedung-gedung bertingkat Kota Makati yang dikenal sebagai pusat bisnis di Metro Manila.
Tempatnya memang agak nyempil karena berada di jalan yang hanya muat untuk satu mobil. Tapi, tidak berarti susah menemukannya. Dari KBRI Manila, cukup menyusuri jalan utama Ayala Avenue menuju Jalan V.A. Rufino. Lalu melewati satu blok untuk menemukan Jalan San Agustin.
Di depan rumah makan itu terdapat tulisan Warung Indo, Chinese-Indonesian Restaurant. Begitu masuk, suasana Indonesia langsung terasa. Banyak ornamen Nusantara seperti bendera Indonesia, patung punakawan, wayang, sampai topeng. Di dindingnya banyak dipajang foto masakan Indonesia
Makanan yang disajikan pun sangat banyak. Mulai lalapan lele, pecel, gado-gado, kwetiau, aneka sup, rendang, sampai lontong sayur medan. Beberapa masakannya cukup memuaskan lidah yang kangen masakan Indonesia. Tapi, tunggu. Untuk rendang, kok seperti ada yang berbeda ya? Jawaban itu ditemukan saat Jawa Pos mengunjungi Indonesian Food Festival 2016 di SM Megamall, Kota Mandaluyong, pekan lalu.
“Karena di sini tidak ada kemiri. Jadi berbeda,” ujar Mariana. Perempuan asli Medan itu adalah penanggung jawab Warung Indo sejak didirikan pada April 2012. Saat itu, dia bersama sepuluh penjual makanan Indonesia lainnya mengikuti ekshibisi yang diadakan KBRI Manila.
Sebagaimana diketahui, kemiri merupakan salah satu rempah-rempah yang sering digunakan. Entah itu dalam bentuk bumbu merah, putih, maupun kuning yang menjadi jantung masakan Indonesia. Apalagi dalam masakan bersantan yang nyaris tidak bisa dipisahkan dari kemiri yang membuat makanan makin maknyus.
Perempuan yang berulang tahun pada 12 April itu menyatakan, rempah-rempah memang menjadi kendala untuk masak di Filipina. Selain kemiri, dia sulit mendapatkan daun salam. Mariana mengakui, hilangnya beberapa bahan membuat rasa masakan tidak akan sama seperti aslinya di Indonesia. Tapi, tidak berarti dia menyerah.
“Harus diganti bahannya, gimana cara kita lah,” katanya. Saat ini dia punya lima koki yang semua berasal dari Indonesia. Jadi, mereka bisa berembuk untuk mencari jalan keluar bagi masakan Indonesia yang bahannya sulit dicari. Dan, voila, ada jalan keluar yang membuat masakan tetap pantas dihidangkan.
“Saya harus merasakan. Setiap hari harus ada quality control-nya,” kata Mariana. Dia mengungkapkan, untuk orang Filipina, rasa yang keluar tetap jempolan. Buktinya, setelah hampir lima tahun dia berjualan, banyak orang Filipina yang suka. Saat jam makan siang, 80 persen yang datang ke tempatnya adalah orang Filipina.
Saat malam, baru orang Indonesia mendominasi sampai 90 persen. Warung Mariana selama ini buka 24 jam nonstop mulai Senin sampai Sabtu. Meski ada bumbu yang hilang, best seller Warung Indo adalah beef rendang. Sulitnya mendapatkan bumbu membuat beberapa makanan seperti ketoprak maupun kare sulit menyamai rasa asli.
Warung Indo adalah salah satu restoran Indonesia yang sudah lama ada di Metro Manila. Usaha itu bermula setelah suami dan empat temannya mengambil alih sebuah restoran Indonesia yang hanya bertahan dua tahunan karena pemiliknya balik ke Indonesia. Sebulan setelah restoran diambil alih, dia baru bergabung.
Potensi makanan Indonesia di Filipina sangat bagus. Tidak sepeti restoran Jepang yang ada di mana-mana. Untuk mendapat pasar orang Filipina, dia sengaja tidak menyajikan makanan terlalu pedas. Maklum, Filipino (sebutan orang Filipina) tidak terlalu suka spicy food. Setiap hari, dia mengaku, ratusan porsi bisa dijual.
Sekitar 10 km dari Makati, tepatnya di Kota Pasig, ada pula restoran yang menyajikan makanan Indonesia. Namanya Warung Kapitolyo. Kapitolyo tidak merefleksikan nama pemilik atau mewakili Indonesia, tapi merupakan salah satu area di Pasig. Lokasi tersebut dikenal sebagai kawasan kuliner.
Tempat makan itu dikelola dua perempuan paro baya. Mereka akrab disapa Miss Louh dan kakaknya, Tess. Saat berbincang di Indonesian Food Festival 2016, Louh fasih berbahasa Indonesia karena 28 tahun tinggal di Jakarta bersama suami dan disusul kakaknya beberapa tahun kemudian.
Dulu mereka punya bisnis konfeksi di ibu kota. Lama tinggal di Jakarta membuat kedua perempuan itu mencintai masakan Indonesia. Kebetulan, mereka memang suka memasak sehingga sering mencoba aneka kuliner Indonesia. Hingga pada 2008, saat kembali ke Filipina, dia memutuskan untuk menjual masakan Indonesia.
“Selama delapan tahun, kami jualan di Legazpi sunday marketi,” kata Louh sambil sesekali mengaduk nasi gorengnya. Pasar yang ada setiap Minggu itu berada di Makati. Jadi, dia memang harus bolak-balik untuk berjualan. Ternyata, banyak orang Filipina yang suka masakannya.
Ibu yang tiga anaknya bersekolah di Jakarta International School (JIS) Jakarta itu tentu makin bersemangat berjualan. Supaya orang-orang suka masakannya, dia tidak mengurangi bumbu masakannya. Louh juga mengaku sebisa-bisanya mempertahankan komposisi bumbu seperti aslinya.
Misalnya, cabai dan kemiri yang disebut dari asalnya, yakni Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan Warung Kapitolyo, mereka juga sempat menanam kemiri dan daun salam. Bumbu disebutnya menjadi kunci masakan Indonesia bisa menjadi so yummy. “Di tempat kami, segala masakan Indonesia ada lho,” katanya bangga.
Dia lantas menghentikan aktivitasnya untuk melayani pelanggan dan mulai menghitung. Kemudian, dia menyebut aneka makanan seperti ayam kremes, martabak manis, gulai kepala ikan, sampai beef rendang. “Supaya rasanya tetap terjaga, kami juga punya konsultan makanan dari Pasuruan,” ucapnya.
Louh adalah tipikal perempuan yang bersemangat dan lincah. Saat berjualan, dia tidak capek untuk berpindah melayani satu pembeli ke pembeli lain. Bisa berbahasa Tagalog, Inggris, dan Indonesia membuatnya makin atraktif saat berjualan. “Oh, Anda orang Indonesia. Coba sate, Pak,” ujarnya.
Meski demikian, sama dengan Mariana, masakan yang disajikan aslinya tidak pedas. Tapi, bagi yang suka spicy food, sambalnya selalu disajikan secara terpisah. Saat itu, dia tiba-tiba menghentikan ceritanya karena teringat sesuatu. “Kami juga bisa membuat tempe sendiri,” katanya, lantas tertawa.
Bukti banyaknya Filipino yang suka makanan Indonesia terlihat dari pesatnya penjualan. Perempuan 57 tahun itu memang tidak menyebut nominal pendapatannya. Namun, dia mengaku sejak beberapa bulan lalu punya tempat permanen untuk berjualan di Kapitolyo, Pasig. “Dari Mei tahun ini.” (*/c5/sof)
2 comments On Mereka yang Lama Menjual Makanan Indonesia di Filipina
maaf mbak saya boleh tahu alamat nya di mana ?
saya sedang cari tau seperti apa orang indonesia di mata orang filipina
artikel yang bagus dan membantu
kunjungan balik ya