Perjuangan Sastrawan Putu Wijaya Melawan Pendarahan Otak

Ingin Tetap Berkarya meski Lewat Lisan

Sudah sebulan ini sastrawan dan dramawan Putu Wijaya terbaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Meski begitu, dia tetap berkarya menghasilkan cerpen dan esai.

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

WAJAH Putu Wijaya terlihat pucat. Slang nasogastric tube (NGT) yang berfungsi memenuhi nutrisi tubuhnya masih terhubung lewat lubang hidungnya. Begitu pula, jarum infus masih menancap di lengan kanannya. Dua alat tersebut dipasang setelah Putu didiagnosis mengalami pendarahan di batang otak.

Akibatnya, saraf-saraf sastrawan serbabisa itu pun kena imbasnya. Kini lengan dan kaki sebelah kirinya tidak bisa digerakkan lagi. Saraf untuk menelan juga terganggu, sehingga dia tak bisa menelan makanan.

”Slang di hidung itu membantu kami untuk memasukkan makanan,” ujar Rista Yanti, adik ipar Putu Wijaya, yang ditemui Kamis (4/10).

Tanpa NGT, kata dia, Putu tidak bisa makan dan minum. Semua akan tertahan di rongga mulut karena, untuk sementara, sarafnya tidak memiliki kemampuan menelan. Beruntung, tindakan brain wash yang berbasis radiologi intervensi berhasil membuat beberapa saraf sastrawan 68 tahun itu mulai membaik. Kini keluarga mencoba memberikan rangsangan berupa madu yang dioleskan di bibir. Putu diminta menjilat dan menelannya.

Teknik digital subtraction angiography (DSA) yang masih menjadi standar baku untuk menunjukkan anatomi pembuluh darah otak (cerebrovascular) juga membawa berbagai harapan baru untuk keluarga. Mereka berharap Putu kembali bisa menelan makanan dengan normal.

”Terapinya memang cukup lama. Hasil DSA sudah cukup baik untuk mengurangi pendarahannya. Setelah ini, Mas Putu menjalani gamma knife,” terang Rista yang didapuk menjadi juru bicara keluarga.

Pengobatan laser itu menjadi tumpuan harapan untuk tetap menjaga memori Putu. Apalagi, keluarga sangat menghindari operasi. Mengapa? Berdasar penjelasan para dokter, operasi bisa memicu Putu untuk pensiun dari dunia seni dan sastra. Sebab, sebagian memorinya bakal hilang. Itu berarti kemampuannya untuk menghasilkan karya sastra dikhawatirkan juga ikut hilang. Atas pertimbangan itulah, dokter menyarankan cara lain, yakni melalui gamma knife.

“Sejauh ini kesadaran Mas Putu masih sangat bagus, tidak kehilangan memori sama sekali,” katanya.

Keluarga makin mantap melaksanakan tindakan medis gamma knife karena tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Informasi yang diperoleh keluarga, tindakan medis itu bisa menekan kambuhnya pendarahan hingga 8 persen dan meningkat jadi 1 persen di tahun kedua.

Rista lantas memberikan bukti upaya penyelamatan memori Putu termasuk urutan atas selain nyawa. Dia menyebutkan bahwa seniman kelahiran Puri Anom, Tabanan, Bali, itu sampai sekarang masih terus berkarya. Meski, Putu tidak menulis sendiri karya sastra yang digagasnya. Dia mengungkapkannya secara lisan, sedangkan Rista yang mengetik.

“Saya sering ketinggalan dan salah ketik,” katanya, lantas terbahak.

Cara yang sama dilakukan sejarawan sekaligus budayawan Jogjakarta Kuntowijoyo dan penulis asal Malang Ratna Indraswari Ibrahim. Keduanya masih berkarya meski sedang sakit parah. Kini dua sastrawan hebat itu telah tiada.

Sampai sekarang Putu Wijaya masih semangat menelurkan ide-ide cerita. Otaknya masih bisa bekerja dengan baik menyusun sebuah cerita pendek. Justru Rista yang sering kelimpungan mencatat kalimat-kalimat yang meluncur dari otak Putu. Tidak jarang Rista meminta kepada kakak iparnya itu untuk mengulang kalimat yang diucapkannya. Hebatnya, Putu masih bisa mengulangi perkataannya dengan baik.

Setelah selesai diketik, Rista membacakan naskah tersebut. Putu menyimak dan mengeditnya. Kalau ada kata-kata yang tidak pas, dia minta diubah. Kalau dinilai sudah sesuai harapan, Putu lalu meminta naskah itu dikirimkan ke media yang menyediakan ruang sastra-budaya. “Ada dua atau tiga media yang masih menerbitkan,” tandasnya.

Ada alasan tersendiri kenapa alumnus UGM itu tetap ingin berkarya. Kalau orang sakit pada umumnya memilih beristirahat total, sastrawan yang berulang tahun tiap 11 April itu justru melawannya dengan berkarya. “Kata Mas Putu, berkarya termasuk terapi penyembuhan dari diri sendiri. Kalau tidak berkarya, katanya malah bisa tambah sakit,” tandasnya.

Hingga kini keluarga belum tahu pemicu sakitnya penulis novel Tiba-Tiba Malam itu. Pasalnya, selama ini penulis yang sudah menghasilkan lebih dari 30 novel, 40 naskah drama, dan seribuan cerpen itu tidak pernah sakit parah.

“Kami masih bingung apa yang memicu sakitnya Mas Putu. Dia tidak punya hipertensi dan kolesterol,” tutur Rista.

Yang jelas, keluarga mengetahui Putu pernah tiga kali jatuh. Yakni, saat pentas di Singaraja, Bali; Kudus, Jateng; dan terakhir di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Panggung yang tidak kuat membuat alasnya rapuh dan mengakibatkan Putu terperosok. Saat jatuh, Putu menyebut posisinya duduk alias bertumpu pada pantat.

“Dulu jatuh seperti itu tidak dikhawatirkan. Karena tidak meninggalkan luka dan tetap baik-baik saja,” jelasnya.

Lepas dari apa pemicu pendarahan otak itu, ada hikmah lain yang didapat. Yakni, kembali dipertemukannya Putu dengan teman baiknya yang terpisah 30 tahun. Dia adalah Prof Dr Teguh Rana Kusuma, ahli neurologi di RSCM. Keduanya berkenalan saat Teguh belum mengambil spesialis. Selain berprofesi dokter, Teguh dikenal sebagai seniman. “Pas ketemu (di RSCM), dia kaget dan langsung memanggil nama Mas Putu,” ucapnya.

Pertemuan dua sahabat itu langsung membuat psikologis keluarga menjadi lebih tenang. Dipegang teman sendiri tentu saja perawatan yang bakal dilalui suami Dewi Pramunawati lebih intensif. Dokter tersebut juga tahu langkah-langkah medis yang tidak merusak memori Putu seperti yang diharapkan keluarga pasien.

Sayang, di tengah perjuangan melawan pendarahan otak itu, sempat beredar kabar tak sedap. Isinya mengatakan bahwa keluarga Putu butuh bantuan finansial. Rista menegaskan bahwa kabar yang beredar di berbagai media sosial tersebut tidak benar. “Manajemen keuangan Putu Wijaya sangat baik, semua bisa diatasi,” jelasnya.

Rista tahu betul watak Putu yang tidak mau dikasihani. Keluarga pun sepakat untuk “menutup” informasi tidak benar itu supaya tidak sampai masuk telinga Putu. “Pernah dia (Putu) mengambil handphone, langsung saya minta supaya tidak membuka Twitter,” tuturnya.

Istri Putu, Dewi Pramunawati, juga angkat bicara soal asal usul tersebarnya informasi salah tersebut. Itu semua, kata dia, berawal dari beberapa teman Putu yang ingin membantu pembiayaannya. Namun, bantuan tersebut ditolak karena sudah ada kerabat Putu yang memberikan bantuan.

“Ada teman Mas Putu yang punya ide untuk mengajak teman-teman menggalang bantuan. Tapi, saya bilang tidak perlu,” tandasnya. (*/c5/c10/ari)

1 comments On Perjuangan Sastrawan Putu Wijaya Melawan Pendarahan Otak

  • Teruz berkarya. Berkarya itu doa. Doa itu penyembuhan. Teruzlah berdoa. Berkarya. Tuhan menyembuhkan. Pasti mengabulkan apa mau kita, sbgmana tertulis dlm karya, dalam doa

Leave a Reply