Maria Oentoe; 40 Tahun Jadi Dubber Drama Radio, Film, hingga Pengumuman di Bioskop

Bagi yang suka nonton film di bioskop jaringan Cinema 21, pasti akrab dengan suara merdu yang mengajak penonton untuk segera masuk ke ruang teater. Suara itu juga familier bagi penggemar sandiwara radio Saur Sepuh dan film Ibuku Malang, Ibuku Tersayang yang ngetop pada 1990-an. Itulah suara Maria Oentoe, yang wajahnya tak banyak dikenal orang.

DHIMAS GINANJAR, JAKARTA


USIA Maria Oentoe menginjak 69 tahun Maret mendatang. Kalau kebanyakan orang lanjut usia sudah mengalami penurunan kemampuan fisik, tidak demikian Maria. Dia masih terlihat bugar. Begitu pula suara emasnya, belum banyak berubah. Tetap empuk dengan intonasi yang menyejukkan.

Di ruang tamu rumahnya di Perumahan Cening Ampe, Depok, berbagai atribut kristiani menghiasi dinding dan sudut-sudutnya. Mulai salib, lukisan, sampai patung dalam berbagai ukuran dan jumlah yang sangat banyak.

“Kegiatan saya saat ini memang lebih banyak di gereja,” ujar Maria saat ditemui Jawa Pos Rabu lalu (21/1).

Di salah satu sudut, digantung lima foto berpigura yang berukuran besar. Empat di antaranya foto aktivitas Maria, satu lainnya potret Bunda Maria. Pandangan mata Maria lalu tertuju pada foto dirinya yang sedang berjabat tangan dengan Presiden Soeharto

Foto itu diambil pada awal 1990 dalam sebuah acara di Teater Imax Keong Emas Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Maria diundang secara khusus oleh Ibu Tien Soeharto untuk mengisi narasi di bioskop itu.

“Tapi, saya sudah lupa narasinya bagaimana saat itu,” ujar perempuan kelahiran Ciamis, Jawa Barat, tersebut.

Maria tidak pernah membayangkan bahwa profesinya sebagai pengisi suara bisa membawanya bertemu langsung dengan presiden kala itu. “Bu Tien minta saya yang mengisi suara di Keong Emas. Saya tidak tahu, kok beliau tahu suara saya,” tambahnya.

Tugas mengisi suara di Keong Emas itu sebenarnya bukan kiprah pertama Maria mengisi suara di bioskop. Sebelumnya, pada 1980-an, Maria dikontrak untuk mengisi narasi ajakan penonton masuk ke ruang teater di bioskop Grup Cinema 21.

“Mohon perhatian Anda, pertunjukan film di teater satu segera dimulai. Para penonton yang telah memiliki karcis dipersilakan untuk memasuki ruangan teater satu,” bunyi pengumuman yang dibawakan Maria di seluruh bioskop Grup Cinema 21 hingga saat ini. Suaranya yang merdu dan khas cepat melekat di telinga para moviegoer (sebutan bagi orang yang rutin nonton film di bioskop).

Empat tahun lalu suara Maria itu direkam ulang. Selain untuk pembaruan, pengambilan suara baru tersebut bertujuan mengakomodasi jumlah bioskop yang terus bertambah di grup sinepleks itu. Hebatnya, pihak Cinema 21 tidak mengganti dengan suara orang lain. Mereka tetap menggunakan jasa suara Maria yang sudah sepuh itu. “Saya tidak tahu kenapa mereka tetap memilih saya untuk mengisi suara itu,” paparnya.

Maria pernah mendengar bahwa para penonton telanjur menyukai suaranya. Karena itu, ketika pengelola bioskop mengganti dengan suara orang lain, banyak penonton yang protes. “Katanya, suara saya masih sama dengan yang dulu. Terima kasih saya kepada Tuhan,” imbuhnya seraya meletakkan kedua tangan di dada.

Dia selalu bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan anugerah suara merdu dan bermanfaat. Apalagi, dia tidak pernah repot untuk menjaga suaranya sampai usia senja. Istri mendiang Rudy F.X. Tinangon itu mengaku minum banyak air putih untuk menjaga kualitas suara. Selain itu, dia menghindari makan gorengan dan makanan yang pedas-pedas.

“Apalagi menjelang take vokal, saya hindari betul agar tidak makan gorengan,” tuturnya.

Ada cerita menarik terkait dengan suara Maria di bioskop. Sejak direkam kali pertama pada 1990, Maria tidak pernah mendengar suaranya yang diputar setiap film di bioskop akan dimulai. Maklum, seumur-umur dia tidak pernah menonton film di bioskop. Dia baru menginjakkan kaki di bioskop pada Mei 2014, ketika menghadiri pemutaran perdana film yang juga dibintanginya, Sebelum Pagi Terulang Kembali. Pemeran Nenek Soen itu diundang sang sutradara, Lasja F. Susatyo, untuk menghadiri gala premiere. Sampai di gedung bioskop, dia mengaku sempat deg-degan menunggu pengumuman itu diputar.

“Ketika terdengar suara itu, dalam hati saya berkata: Ini dia, ini dia,” katanya, lantas tertawa.

Maria Oentoe saat ditemui di rumahnya kawasan Depok

Maria mengaku grogi sekaligus takjub saat mendengar suaranya sendiri. Apalagi, suaranya diputar dengan volume keras. “Itu pertama kali saya mendengar suara saya sendiri. Saya sampai kaget, bagus sekali ya,” imbuhnya.

Film Sebelum Pagi Terulang Kembali merupakan film ketujuh yang pernah dibintanginya. Beberapa film lain yang juga melibatkan dirinya adalah Ca Bau Kan (2002); Ibuku Malang, Ibuku Tersayang (1990); Pernikahan Dini (1987); Yang Masih di Bawah Umur (1985); Kulihat Cinta di Matanya (1985); Bawalah Aku Pergi (1981); dan Badai Pasti Berlalu (1977). Dalam film-film itu, selain menjadi dubber, biasanya Maria Oentoe didapuk sebagai pemeran pendukung.

Kebanyakan film lama memang menggunakan suara Maria sebagai dubber. Maklum, saat itu teknologi belum memungkinkan untuk syuting langsung merekam suara sekaligus. Sinkronisasinya sering tidak pas. Karena itu, pada 1970-an sampai awal 1990-an, masih banyak sutradara yang meminta naskah dibaca ulang oleh dubber.

“Biasanya saya mengisi suara untuk pemeran utama perempuan,” jelas pengisi suara untuk istri Brama Kumbara dalam drama radio Saur Sepuh yang ngetop pada dekade 1980-an itu.

Berbeda dengan sekarang, profesi dubber tidak lagi populer karena pengambilan gambar bisa jadi satu dengan suara dan sinkronisasinya pas. Karena itu, para dubber kini lebih sering dipakai untuk keperluan iklan atau film kartun.

Mariaingat betul bagaimana pekerjaan tersebut tidak mudah dilakukan. Malahan, tugasnya mirip pekerjaan aktris atau aktor. Bagaimana tidak, dubber harus menghafal naskah yang sama. “Filmnya harus ditonton, melihat bagaimana aktingnya, lantas disesuaikan dengan kebutuhan suara. Belum lagi kalau ada improvisasi dialog,” ungkapnya.

Film November 1828 karya Teguh Karya yang dirilis pada 1979 juga memanfaatkan suara emas Maria Oentoe. Saat itu, dia mengisi suara untuk aktris Sunarti Rendra. Menurut dia, dialog dalam film tersebut adalah salah satu yang paling susah. Sebab, ada adegan yang membuat Sunarti Rendra harus berdialog panjang, lalu ada tangis dan tawa. Maria muda yang mendapat tugas tidak mau gagal. Dia hafalkan betul naskah dan mempelajari akting Sunarti.

“Saya baca, dalam satu kali take, tidak ada yang salah. Pak Teguh Karya senang dan memberi tepuk tangan,” kenang penggemar aktris gaek Lenny Marlina itu.

Sebelum akhir dekade 1990 menjadi masa kejayaan profesi dubber, termasuk yang dirasakan Maria. Suaranya laris menghiasi berbagai iklan televisi, drama radio, maupun company profile. Dari banyak proyek itu, Maria sampai bisa membuka studio rekaman sendiri bernama Idola di kawasan Tebet, Jakarta. Namun, studio dengan enam ruang rekaman tersebut terbakar pada 2003. Padahal, saat itu studio tersebut menjadi favorit bagi para dubber untuk rekaman.

Belum usai berduka karena kebakaran, Maria kembali mendapat cobaan setahun kemudian. Pada 2004, anak keempatnya meninggal, disusul suaminya pada 2005. Semua itu seakan menjadi awal dari redupnya karir Maria. Dia pernah berusaha bangkit dengan membuka studio di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tetapi, dia terlalu rapuh untuk meneruskan usaha itu lagi. “Udah hopeless, saya serahkan rezeki ke Tuhan,” terangnya.

Perlahan, sulih suara sudah tidak populer. Perkembangan teknologi membuat pekerjaannya bergeser. Tidak lagi banyak dibutuhkan dalam pembuatan film maupun sinetron. Suara para dubber, selain untuk iklan maupun radio, lebih banyak digunakan untuk film-film asing. Sejak itu pula, keberadaannya mulai banyak dilupakan.

Kini lulusan SMA Santa Ursula Jakarta itu memilih untuk mengabdi kepada Tuhan. Sembari menunggu pekerjaan yang membutuhkan suaranya, Maria menjadi pengajar di gereja. Dia menjadi spesialis pengajar membaca indah kitab Injil. “Supaya firman Tuhan bisa dibaca dengan bagus. Tidak hanya asal membaca.” (*/c11/ari)

Leave a Reply