Beda kultur antara Indonesia dan Malaysia berhasil dipadukan Tilu menjadi kekuatan pada lagu-lagu mereka. Sukses di Malaysia, tapi belum pernah diundang ke Indonesia. Wartawan Jawa Pos Dhimas Ginanjar melaporkan dari Kuala Lumpur.
—
JARUM jam hampir menyentuh pukul 24.00. Kamis tengah malam lalu (12/1) suasana di ruko kawasan Taman Danau Kota, Kuala Lumpur, sudah sepi. Kecuali di sebuah bangunan yang berada di lantai 3.
Dari bangunan tersebut, suara drum dan gitar terdengar mendominasi ruangan, diselingi pembicaraan dua pria yang memainkannya, Johar Lucas (drum) dan Deo Darmawan (gitar). ”Sumpah, gue akan belajar main musik rock,” ujar Deo bersemangat. Johar hanya tersenyum dan tetap memainkan alat musiknya.
Deo dan Johar adalah dua di antara tujuh personel Tilu Band. Di mixing room Kamis malam lalu itu ada juga leader band tersebut, Puja Paska. Karena memang tak ada jadwal latihan resmi, empat personel lainnya absen malam itu. Yakni, Reza Ramsey (keybordis), Amirah Asraf (vokalis), Fareed Aziz (trompet), dan Jeffny Kamar (saksofon).
Hanya dari menyimak percakapan antara Deo dan Johar yang berbeda logat dan sejumlah kosa kata, kita bisa menebak ciri khas band yang pertama didirikan Puja, Johar, dan Reza pada 2009 itu: personelnya berasal dari dua negara serumpun, Indonesia dan Malaysia. Tiga personel yang berasal dari Indonesia adalah Puja, Deo, dan Reza.
Memang, di Malaysia band yang personelnya berasal dari Indonesia-Malaysia bukan hanya Tilu. Ada band lain, misalnya Hujan dan 6ixth Sense. Tapi, hanya Tilu band major label yang komposisi personelnya hampir seimbang dari dua negara. Sedangkan di band ”campur-campur” lain rata-rata hanya ada satu anggota asal Indonesia.
Dengan komposisi dua negara yang hampir berimbang seperti itu, otomatis kendala yang dihadapi pun lebih besar dalam hal menyatukan kultur. Terutama bahasa, yang otomatis akan berpengaruh kepada penulisan lirik.
Tapi, Tilu justru berhasil memanfaatkan kendala itu untuk menelurkan referensi dengaran yang ternyata digemari di Malaysia. Bukti terkini, klip terbaru mereka, Bukan Cinta Monyet, rencananya baru tayang di salah satu kanal televisi di negeri monarki konstitusional tersebut malam ini pukul 22.00.
Namun, laman Facebook Tilu sudah kebanjiran komentar. Rata-rata isinya sama, ingin segera mendengar dan melihat video dari band yang meledak lewat lagu Ku Bukan Aku tersebut.
Lagu Bukan Cinta Monyet yang merupakan single pertama dari album kedua Tilu yang semula akan diedarkan di Indonesia itu ditulis dalam lirik bahasa Indonesia, tapi aransemennya diberi sentuhan Melayu khas Malaysia. Sedangkan pada lagu mereka lainnya, Jangan- Jangan Cuba, komposisinya dibalik: lirik Melayu, aransemennya dangdut.
”Karena sering campur-campur itu, banyak yang mengira kami band Indonesia murni,” ucap Puja yang menulis Bukan Cinta Monyet itu lantas tertawa.
Meski tak mau menjamah politik, lewat lagu-lagu mereka yang berhasil menjembatani kultur Indonesia-Malaysia itu pula Tilu sekaligus ingin menunjukkan beginilah seharusnya warga dua negara serumpun bersikap: bekerja sama dan rukun. Bukan bersitegang seperti yang selama ini terjadi.
Semangat untuk mempersatukan manusia-manusia serumpun itu sudah terlihat dari kali pertama band terbentuk dua tahun silam. Arti pemberian nama Tilu tidak hanya berhenti pada makna harfiah penyebutan angka tiga dalam bahasa Sunda. Tapti, itu juga merupakan simbol bahwa anggotanya berasal dari tiga wilayah.
Tiga wilayah yang dimaksud adalah Kuala Lumpur, Borneo (Kalimantan), dan Indonesia. Seolah ingin ”menyatukan” tiga wilayah itu, dia mengatakan bahwa musik bisa menghentikan pertikaian dan terkontaminasi cinta, perdamaian, serta kebebasan.
Bahkan, kata Puja, awalnya Tilu berhasrat mempersatukan pemusik tiga negara. Yakni, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Namun, kolega dari Singapura disebutnya sudah keburu membuat band sendiri. ”Komposisi personel ini untuk nunjukin kami bersatu. Selama ini terbukti bisa jalan baik,” ujarnya.
Kata Tilu juga merefleksikan bagaimana awalnya band itu terbentuk. Puja mengatakan bahwa band itu didirikan oleh tiga orang, yakni dirinya, Reza, dan Johar. Kebetulan mereka adalah teman sekantor di sebuah perusahaan di Kuala Lumpur yang sama-sama suka bermain musik.
Setelah memastikan posisi masing-masing dalam bermain musik, mereka lantas mencari personel lain. Puja menjelaskan, pencarian itu tidak dilakukan melalui audisi, tapi dari masukan teman-temannya.
Sebagai leader, jam terbang Puja di belantika musik Malaysia tergolong tinggi. Dia pernah menulis lirik lagu untuk sejumlah artis Malaysia seperti Adam Akademi Fantasi, Trio The Lima, dan Gaddafi Ismail Sabri atau yang dikenal dengan Dafi. Di Indonesia, dia juga pernah berduet dengan Gita Gutawa.
Karena itu, begitu Tilu terbentuk dan personel yang dicari lengkap sudah, mereka langsung merekam demo dan menawarkan kepada produser. Sebab, stok lagu yang dimiliki Puja cukup banyak. Walhasil, album pertama dengan single andalan Ku Bukan Aku dirilis dan mendapat respons positif dari publik.
Meski telah dihinggapi kesuksesan, sehari-hari Tilu masih kerap menghadapi kerikil-kerikil komunikasi karena perbedaan logat dan kosakata para personelnya. Deo, misalnya, masih ingat betul kebingungan Jeffrey Kamar begitu mendengar kata ”dong” dan bahasa gaul lainnya. ”Jeff tanya, dong apa sih,” ucapnya sambil menirukan ekspresi wajah Jeff yang bingung.
Soal makanan jelas juga ada perbedaan. Tapi, Puja dengan bangga menceritakan keberhasilannya membuat rekan-rekan Malaysianya menyukai ayam penyet. ”Ya, sambelnya itu yang bikin suka,” kata Johar.
Kini tantangan yang harus dipertahankan Tilu adalah keutuhan komposisi gado-gado itu. Puja mengaku butuh banyak pengorbanan toleransi agar tidak pecah kongsi. Salah satu cara yang disepakati adalah harus ada karya yang dibahas. ”Supaya tidak vakum,” tuturnya.
Apalagi, band tersebut sudah cukup punya nama di Malaysia. Puja juga merasa sayang jika lagu-lagu mereka yang sudah malang melintang di radio dan sempat menduduki peringkat atas harus kandas begitu saja.
Itulah mengapa, meski hubungan Indonesia dan Malaysia kerap memanas karena berbagai hal, para personel Tilu mencoba tidak emosional agar tak mengganggu suasana di dalam band. ”Kami mengikuti perkembangan, tapi ya cukup tahu saja. Tidak perlu ambil pusing,” kata Puja yang dilahirkan di Bandung pada 1977 itu.
Kini, setelah album sukses dan tawaran konser di berbagai wilayah Malaysia berdatangan, mereka berambisi bisa menembus Indonesia. Sayang, rencana meluncurkan single dari album keduanya di Jakarta gagal terwujud karena kendala teknis. ”Tapi, kami tak putus asa. Semoga segera ada yang mengundang sehingga kami bisa tampil di Indonesia,” kata Deo. (*/c4/ttg)