hotel indonesia kempinski

Perjalanan Setengah Abad Hotel Indonesia, Miniatur Budaya Nusantara yang Akan Terus Dijaga

Hotel Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah negeri ini. Memasuki usia 50 tahun, mereka berupaya mengembalikan kenangan masyarakat terhadap landmark Indonesia.DHIMAS GINANJAR-JANESTI P., Jakarta

DI atas becak, wajah Allen Atwalt, warga Amerika Serikat (AS) yang jadi tenaga ahli di Rockefeller Foundation, terus dihiasi senyum. Dia tampak enjoy meski harus membungkuk lantaran atap becak terlalu rendah. Transportasi tradisional itu makin terasa sempit karena dia juga berbagi tempat duduk dengan dua koper besar di sisi kiri.

Dalam foto hitam putih berukuran 10 R tersebut terlihat bule lain yang menyambut Allen. Pria yang mengenakan setelan jas hitam lengkap dengan dasi itu adalah William Land, general manager pertama Hotel Indonesia. “Dia tamu pertama, datang naik becak,” ujar Suwarno, kurator peringatan 50 tahun Hotel Indonesia.

Foto tersebut disusun rapi bersama 16 jepretan lain di foyer Bali Room. Cukup mencolok karena gambar tamu pertama itu berukuran cukup besar. Seluruh foto yang merekam momen penting dalam sejarah berdirinya Hotel Indonesia tersebut dicetak hitam putih.

Pandangan Suwarno lantas terhenti pada sosok bule berkemeja putih dengan dasi garis-garis. Dia adalah Ted Kennedy, adik bungsu Presiden AS John F. Kennedy. Beberapa tokoh penting memang disebut dosen Fakultas Seni Rupa ISI Jogjakarta itu datang pada pembukaan Hotel Indonesia, 5 Agustus 1962.

Foto-foto tersebut dipasang di dinding yang letaknya persis di depan lift menuju Bali Room. Nuansa nostalgia makin kuat karena lift yang berhadap-hadapan dengan foto bukan alat angkut biasa. Konon, itulah lift pertama di Indonesia yang didatangkan Presiden Soekarno.

Lift yang diterangi efek lampu berwarna kuning itu berukuran sangat kecil. Hanya dua atau tiga orang yang muat untuk sekali angkut. Saking sempitnya, tamu-tamu, terutama bule, jarang menggunakannya sekarang.

Public Relations Coordinator Hotel Indonesia Kempinski Nathalia Atmaja mengatakan, lift-lift tersebut memang spesial. Tempat dan fungsinya tidak pernah diubah meski hotel sudah mengalami beberapa kali renovasi. “Tidak pernah diganti. Interiornya saja yang diperbarui. Seperti karpet serta handle untuk pegangan,” urainya.

Nathalia mengatakan, lift tersebut bagian dari sisa sejarah yang masih dipertahankan. Memang, banyak perubahan sejak Kempinski mengambil alih manajemen Hotel Indonesia pada 2009. Terutama, interior hotel yang lebih mengarah pada gaya kolonial dan Eropa.

Beberapa peninggalan sejarah tersebut sengaja dipertahankan karena bagian tak terpisahkan dari hotel. Selain itu, Soekarno sebagai insinyur memilih untuk “menanam” beberapa karya seni di tembok hotel. Jadi, merenovasi total berarti ikut menghilangkan sejarah. “Hanya bagian dalam yang boleh diubah, wujud depan tidak,” imbuhnya.

Nathalia dan Suwarno juga menunjukkan sebuah bukti yang ada pada lukisan berjudul Flora dan Fauna Indonesia karya Lee Man Fong. Pelukis yang meninggal pada 1988 itu menorehkan kuas tidak pada kanvas. Melainkan, langsung ke tembok sehingga bisa dikategorikan sebagai mural.

Lukisan tersebut berbentuk cekung dan terdiri atas tiga bagian. Tinggi masing-masing sekitar 3 meter dengan lebar sekitar 9 meter. Lukisan tengah menggambarkan kekayaan laut Indonesia lengkap dengan ikan dan terumbu karang. Diapit oleh lukisan hewan-hewan yang keluar dari rerimbunan hutan.

Lee Man Fong dilibatkan dalam proyek mempercantik Hotel Indonesia karena pelukis kesayangan Presiden Soekarno. Walau cukup lama, lukisan itu masih awet meski beberapa warna sudah menunjukkan pergeseran. “Lukisannya menjadi bagian terintegral dari Bali Room, tidak bisa dibongkar,” tutur Suwarno.

Mimpi Soekarno saat itu adalah membangun hotel yang bisa menjadi ujung tombak dalam mengenalkan beragam budaya dan mewakili karakter utama bangsa Indonesia. “Itulah kenapa di hotel ini sangat banyak karya seni. Bisa dikatakan, hotel ini menjadi miniatur budaya Indonesia,” tandasnya.

Suwarno, kurator peringatan 50 tahun Hotel Indonesia.

Tepat di belakang lukisan berukuran jumbo itu adalah Bali Room. Sebuah ruang bersejarah lain yang masih tetap dibiarkan Kempinski. Ruang oval itu sangat cantik. Langit-langitnya dihiasi lampu gantung berukuran besar dengan lampu-lampu. Di situlah beberapa artis besar seperti Titiek Puspa hingga Bob Tutupoli kerap tampil.

Beranjak ke lantai 8, Nathalia menunjukkan kamar Diplomatic Suite. Kamar dengan ruang bersantai, kantor mini, dan tempat tidur benar-benar bergaya Eropa. “Supaya identitas Indonesia tetap ada, ada pemanis lukisan bernuansa Indonesia,” kata Suwarno.

Ruang lain yang masih ada namun sudah beralih fungsi adalah The Heritage di lantai 16. Dahulu ruang di sayap hotel itu adalah tempat disko. Namun, manajemen baru menghilangkan fungsi tersebut dan mengubahnya menjadi function room.

Terakhir adalah bangunan yang tidak cukup besar di lantai dasar Hotel Indonesia. Ruang tersebut bernama Paviliun Ramayana. DI akses menuju tempat itu ada beberapa patung karya seniman J.S. Soelistyo. Paviliun tersebut dahulu juga berfungsi sebagai tempat pesta dan kini sedang direnovasi.

“Di dalam paviliun ada mozaik karya Gregorius Sidharta Sugiyo yang bertema kesenian,” kata Suwarno. Makin klop karena di tempat itu masih tergantung sebuah lampu disko. (*/c10/ca)

Leave a Reply