Umumnya, perempuan berusia 40 tahunan menghindari kegiatan ekstrem. Tapi, tidak demikian dengan ibu-ibu yang tergabung dalam Kartini Petualang. Mereka terobsesi menaklukkan lima gunung bersalju di lima benua.
—
TAS kuning besar disusun rapi di sisi luar restoran Jepang di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Jumat malam (15/8). Tas-tas besar itu adalah milik Elyta Gultom, 58; Cecilia E. Yasintha, 44; dan Hotmaria Siregar, 45.
Isinya berbagai perlengkapan untuk mendaki gunung. Selama seminggu ke depan, tiga sekawan itu akan berusaha menaklukkan Gunung Elbrus, gunung tertinggi di Eropa. Mereka didampingi pelatih fisik Dadang M. Rizal, 45, dan Chandra Sembiring, 29, selaku dokter pendakian.
Tampak pula anak-anak dan suami mereka melepas di bandara Tidak tersirat kekhawatiran di wajah mereka. Maklum, ini bukan kali pertama mereka melepas sang bunda mendaki gunung di luar negeri. ”Ini pendakian kami yang keempat di luar negeri. Kalau di Indonesia, kami sudah sering,” terang Elyta Gultom, ketua Kartini Petualang.
Sebelum ke Gunung Elbrus di Rusia, mereka berhasil menaklukkan Gunung Damavand, Iran, 2011. Pendakian Gunung Damavand merupakan kenangan yang tidak terlupakan bagi tiga perempuan perkasa tersebut. Bukan hanya karena itu adalah pendakian pertama di luar negeri. Tetapi, di sana tekad mereka untuk bisa mencapai puncak gunung diuji cuaca buruk. Salju menumpuk tebal sehingga mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan. Selama enam hari mereka menunggu cuaca benar-benar memungkinkan untuk mendaki.
Setahun kemudian, mereka sukses menaklukkan Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Afrika. Lalu, pada 2013, giliran mereka mendaki Mount Rainer di Amerika Serikat. Mount Rainer termasuk gunung tertinggi di Negeri Paman Sam.
Pada pendakian-pendakian itu, mereka turun full team. Termasuk Sri Bimastuti, 59. Sayangnya, pada pendakian ke Gunung Elbrus kali ini, Sri mendadak absen. ”Anaknya tiba-tiba sakit. Sebagai seorang ibu, kami sarankan dia untuk tidak berangkat,” kata Elyta.
Empat gunung yang mereka taklukkan mempunyai karakter yang sama. Selain tergolong gunung tertinggi di negara masing-masing, semua merupakan gunung berapi dan bersalju. Konsistensi memilih gunung berapi dan bersalju tetap mereka pertahankan hingga pendakian kelima pada 2015.
”Kami akan mendaki ke Puncak Jaya atau Carstensz Pyramid,” ucapnya mantap.
Mengapa mereka senang memilih gunung-gunung bersalju dan berapi? Menurut Elyta, mereka berobsesi untuk menuntaskan misi 555 yang berarti 5 puncak gunung di 5 benua dalam usia 50 tahun.
Saat ditanya soal pendakian di Elbrus, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menjelaskan dengan penuh semangat. Mulai persiapan hingga hari H pendakian. Para anggota Kartini Petualang mempersiapkan dengan sungguh-sungguh karena medan gunung setinggi 5.642 meter tersebut cukup menantang. Karena itu, mereka harus berlatih fisik maupun teori secara kontinu tiga kali seminggu. Untuk melihat kesiapan mereka, empat pendaki perempuan ”berumur” itu mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur sebagai ”tryout”.
Latihan fisik dan teknik pendakian sangat penting dalam persiapan itu. Selain menjaga kebugaran, forum tersebut ditujukan untuk menjaga kekompakan tim. Bagi Elyta, mustahil kekompakan bisa didapat kalau tidak pernah berlatih.
Salah satu yang urgen dipersiapkan adalah trik untuk mengatasi hipotermia. Berada di gunung bersalju dalam waktu lama membuat tubuh ibu-ibu itu rentan mengalami tekanan suhu dingin. ”Supaya oksigen bisa maksimal diserap, kami harus berjalan pelan. Nggak boleh buru-buru,” tuturnya.
Pelatih fisik Dadang M. Rizal menambahkan, usia 50 sebenarnya sulit berkembang secara fisik. Karena itu, latihan fisik yang dia berikan tidak bertujuan untuk menguatkan otot dan meningkatkan kebugaran, melainkan menjaga supaya tetap selalu prima.
”Bukan latihan beban, tapi latihan yang bersifat endurance seperti joging 45 menit nonstop,” terang anggota kelompok pencinta alam Wanadri angkatan 1993 itu.
Saat mengetahui bahwa pencinta alam yang akan dilatihnya adalah para perempuan parobaya, Dadang sempat tidak percaya. ”Mereka termasuk orang gila,” gumamnya.
Berdasar pengalaman mendampingi ibu-ibu itu mendaki selama ini, Dadang mengaku senang. Malahan, menurut dia, jika dibandingkan dengan pendaki laki-laki, emosi para pendaki perempuan itu lebih stabil. Semangat dan emosi mereka tidak meledak-ledak, meski tetap cerewet.
Kelompok Kartini Petualang dibentuk pada 2000. Mereka bertemu ketika mengantar anak masing-masing untuk mendaki Gunung Gede, Jawa Barat. Pendakian itu diikuti 41 kelompok pencinta alam dari Jakarta dan Jawa Barat.
Saat itulah Elyta bertemu Sri Bimastuti, Cecilia, dan Hotmaria. Tapi, sebelumnya mereka saling kenal karena sama-sama menjadi anggota pencinta alam. Elyta merupakan anggota Mapala UI angkatan 1977.
Sejak itu, mereka makin akrab dan sering membawa anak-anak mereka untuk mendaki bersama. ”Tapi, begitu anak-anak tumbuh dewasa, mereka mendaki sendiri. Nah, ganti ibu-ibunya yang kelimpungan tidak punya kegiatan,” cerita istri Badai Daniel itu.
Singkat cerita, Elyta cs lantas bersepakat untuk membentuk kelompok sendiri yang diberi nama Kartini Petualang. Mereka mengawali aktivitas pendakian bersama sebagai satu tim pada 21 April 2009 ke Gunung Rinjani.
”Karena pendakian itu bertepatan dengan Hari Kartini, kami sepakat memberi nama kelompok dengan Kartini Petualang yang disingkat Karpet,” jelasnya.
Turun dari Gunung Rinjani ternyata tidak meredakan adrenalin ibu-ibu itu. Mereka kemudian menjadwal gunung-gunung yang akan mereka taklukkan. Bulan-bulan berikutnya, mereka ganti menjejakkan kaki ke Gunung Semeru, Kerinci, Gunung Agung, Pangrango, dan Tambora. Itu mereka lakukan selama 2009.
Pada 2010, empat perempuan pemberani itu menaikkan level gunung yang akan ditaklukkan. Yang pertama mereka daki adalah Gunung Himalaya di India. Mereka berhasil mencapai Island Peak. ”Sepulang dari Himalaya, keinginan kami makin nggak terbendung untuk terus mendaki. Kami bingung mau ke mana lagi,” ujarnya.
Dari situlah kemudian tercetus pendakian lima gunung di lima benua itu. Konsekuensinya, mereka harus bisa menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. ”Saat ide itu kami lontarkan ke keluarga, mereka malah tertawa. Tapi, as long as mamanya tahu diri, harus bisa mempersiapkan diri,” ucapnya.
Mimpi Kartini Petualang tidak hanya berhenti pada pendakian lima gunung di lima benua. Setelah menyelesaikan misi pendakian nanti, mereka berniat menuliskan pengalamannya tersebut dalam sebuah buku. Termasuk, menularkan ilmu pendakian kepada generasi muda agar tidak sampai jatuh korban jiwa. Sebagai pencinta alam senior, Elyta dan teman-teman merasa miris atas banyaknya pendaki yang kehilangan nyawa di gunung.
Selain itu, mereka ingin berkeliling ke taman-taman nasional di berbagai negara. Tujuannya, membawa konsep yang bagus untuk diterapkan di Indonesia. ”Taman nasional kita sebenarnya punya banyak keunikan. Misalnya, Wakatobi atau Raja Ampat. Tapi, lisensinya banyak ke orang asing. Jadinya, mahal kalau mau berkunjung ke sana,” tandas dia. (*/c5/ari)
2 comments On Perjuangan Kelompok Kartini Petualang Mendaki Gunung Elbrus di Rusia
Good response in return of this questio with solid arguments and explaining everyything
about that.
I LOVE THIS!