Gita Saraswati dan Gerakan Mukena Bersih di Jakarta

Prihatin, Banyak Peranti Ibadah Dibiarkan Kotor

Di Jakarta ada komunitas unik. Mereka menamakan diri kelompok Gerakan Mukena Bersih (GMB). Aktivitasnya mencari mukena yang kotor di masjid dan musala untuk disucikan.

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

KANTOR GMB di Jalan Kemang Raya Timur tidak begitu besar. Bahkan, untuk ukuran ruang kerja tergolong sangat kecil. Luasnya hanya sekitar 3 x 3 meter. Isinya tumpukan mukena, maneken, dan meja kantor.

”Ya, inilah kantor kami. Ibarat orang Jepang, kantornya kecil, tapi jangkauannya luas,” ujar Gita Saraswati, pendiri GMB.

Gita lantas menghidupkan laptop putihnya. Dia kemudian membuka file video yang berisi profil GMB. Saat video diputar, dia bilang, ada kegalauan di hati saat perintah untuk menyucikan peranti ibadah tidak dilakukan sebagian umat muslim. Padahal, kebersihan adalah sebagian dari iman.

Perempuan 43 tahun itu memberikan gambaran, di kota besar seperti Jakarta, orang sulit untuk salat di rumah kecuali Subuh dan Isya. Selebihnya dilakukan di masjid atau musala umum. Di tempat ibadah tersebut kebersihan mukena sering kurang diperhatikan. ”Banyak mukena yang kotor dan bau karena lama tidak dicuci dan disucikan. Padahal, salah satu syarat sah salat adalah suci,” imbuhnya.

Gita lalu menceritakan awal mula pendirian GMB. Pada 2008, saat mampir di masjid yang cukup bagus di Jakarta untuk menunaikan salat Asar, dia memilih mukena yang paling bersih. Rakaat demi rakaat dia jalankan dengan khusyuk.

Kekhusyukan beribadahnya langsung berubah jadi risi dan tak nyaman saat ibu dua anak itu selesai salat dan melafalkan doa dengan menelungkupkan kedua tangannya ke wajah. Saat itulah dia melihat bercak ingus yang telah kering di mukena yang dipakainya. Usai salat dia menghela napas, pikirannya dipenuhi pertanyaan mengapa di masjid sebagus itu mukenanya tak terurus.

Gita mencoba melupakan kejadian tidak menyenangkan itu. Tetapi, entah kenapa, memorinya sulit menghilangkan peristiwa tersebut. Dari situlah kemudian muncul ide untuk mengambil sikap proaktif. Dia bertekad mengajak orang-orang yang peduli terhadap kebersihan peranti ibadah untuk terjun ke lapangan. Konkretnya, dia ingin membantu takmir (pengurus) masjid/musala dengan menyucikan mukena yang biasa dipakai untuk umum. ”Saya malu menghadap Yang Maha Pencipta dengan mukena kotor. Padahal, dalam doa saya minta macam-macam,” kata dia.

Awalnya, aksi itu dia lakukan sendirian. Dia belum menemukan teman seperjuangan. Setiap bertemu masjid atau musala, Gita pasti memeriksa mukena yang disediakan untuk jamaah. Bila kondisinya kotor dan bau, langsung dia bawa untuk dicuci hingga bersih dan wangi. Setelah cucian kering, disetrika, lalu dikembalikan ke masjid atau musala asal mukena itu.

Gita yang peka terhadap kebersihan peranti ibadah kerap mendapatkan pemandangan yang memprihatinkan. Misalnya, dia sering melihat jamaah perempuan mengusap mukanya dengan mukena setelah wudu. ”Jelas, kalau begitu caranya, mukena cepat kotor dan bau. Orang yang pakai setelah itu jadi risi. Bahkan jijik,” jelasnya.

Namun, aktivitas yang dilakukannya sendirian itu tidak berlangsung lama. Hanya bertahan sebulan. Fisiknya tidak kuat lagi bila menjalankan aksi tersebut sendirian. Meski begitu, Gita tetap ingin bisa berdakwah dengan model tidak lazim itu. Intinya tetap sama seperti yang dia lakukan selama ini, yakni menghadirkan mukena bersih di masjid dan musala. Tetapi, kali ini dia membentuk komunitas yang diberi nama Gerakan Mukena Bersih (GMB). Dia mengajak lima temannya untuk menggerakkan dakwah ini. Mereka adalah Diana, Niken, Siska, Indra, dan Yayi.

Komunitas itu didirikan pada 27 Desember 2007, bertepatan dengan 1 Muharam 1429 Hijriah. Konsepnya kali ini melibatkan relawan dan donatur. Bukan lagi menyucikan mukena, tapi meletakkan mukena baru. Tetapi, gerakan baru itu belum juga menyelesaikan masalah. Bahkan mendatangkan cibiran dari berbagai pihak.

Mereka dinilai melakukan aksi karena punya pamrih. Inilah yang sempat membuat Gita dkk prihatin. Padahal, mereka bekerja tanpa dibayar, semata-mata untuk berdakwah. ”Meski begitu, kami tetap jalan. Kami percaya, hati yang bicara, bukan uang. Terserah penilaian orang. Kami yakin, masih banyak yang peduli dengan gerakan kami,” tuturnya.

Itulah mengapa Gita menolak dengan tegas tawaran seorang donatur yang bermaksud membiayai seluruh kegiatan operasional GMB. Donatur itu berjanji membelikan mobil khusus untuk mengambil mukena dan peralatan untuk mencuci mukena yang kotor. ”Dengan halus tawaran itu kami tolak. Sebab, donatur itu ingin mengubah gerakan kami menjadi laundry service,” tuturnya.

Keyakinan Gita berbuah manis. Cibiran dan pandangan miring atas GMB pun lenyap setelah aksi itu berjalan enam bulan. Bahkan, relawan yang bergabung terus bertambah. ”Jumlah relawan kami sekarang lebih dari 500 orang,” ungkap dia.

Yang lebih membanggakan, para relawan itu tidak hanya berada di Jakarta, tetapi tersebar di 38 kota/kabupaten se-Indonesia. ”Di Mataram, NTB, dan Kepulauan Riau pun ada,” tuturnya bangga.

Untuk menjadi relawan GMB tidak mudah. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. ”Jadi relawan GMB susah masuknya. Sebab, kami bukan gerakan bagi-bagi mukena,” katanya.

Syarat yang harus dipenuhi calon relawan, antara lain, bisa menjaga amanah untuk mengerjakan kewajibannya setelah menerima paket mukena. Yakni menjaga mukena tersebut tetap bersih dan layak untuk dipakai salat.

”Dulu kami sempat bingung untuk evaluasi program. Sebab, form evaluasi mudah dimanipulasi,” jelas Gita. Di samping itu, relawan hanya diperbolehkan membawa satu paket GMB yang terdiri atas empat mukena.

Gita lantas membuka kumpulan karung di dekat meja tamu kantornya. Ditunjukkan mukena dengan bordiran GMB di bagian belakang. Gita mengatakan, mukena itu harus dicuci minimal sekali seminggu. Apalagi mukena di musala umum, seperti stasiun atau mal, dua hari sekali harus dicuci.

Menurut Gita, bertanggung jawab terhadap satu paket mukena saja tidak mudah. Karena itu, dia tidak ingin mukena itu kotor gara-gara relawan tamak mengambil paket. Pihaknya tidak segan-segan melepas status relawan kalau ternyata yang bersangkutan tidak mampu mengemban amanah. ”Kami mengajarkan, kalau tidak mampu menjaga amanah, jangan lari, tapi dikembalikan,” tuturnya.

Gita juga selalu mengusahakan agar donatur bisa menjadi penyumbang tetap, meski hanya Rp 10 ribu per bulan. ”Berapa pun kami terima. Bagi kami, itu penting untuk menambah semangat dalam bekerja,” tandasnya.

Bahkan, dia berharap, donatur yang mendonasikan uangnya dalam jumlah besar membaginya dalam nominal yang lebih kecil, namun berlangsung lama. Dengan cara itu, donatur lebih care pada GMB, tidak langsung lupa setelah menyumbang. ”Pahala memang urusan Allah, tapi kami tetap ingin terus merangkul para donatur,” tambahnya.

Dua tahun setelah community development berjalan, nama GMB makin dikenal di mana-mana. Bahkan menarik perhatian politikus di Senayan. Gita pun sempat dilirik untuk ”dipinang” sebagai calon legislatif dalam Pemilu 2009. ”Tapi, saya tolak. Saya tidak ingin, GMB jadi komoditas politik,” urainya.

Sampai sekarang Gita tak mau mengubah konsep komunitasnya. Dia berharap, gerakannya bisa menginspirasi orang untuk peduli tempat ibadah di sekitarnya. (*/c13/ari)

5 comments On Gita Saraswati dan Gerakan Mukena Bersih di Jakarta

Leave a Reply