Mengoleksi action figure superhero seperti Superman, Batman, atau Spider-Man mungkin sudah biasa. Tapi, bila figur-figur itu berupa ”tokoh-tokoh” kriminal seperti Ryan Jombang, ”si kanibal” Sumanto, atau tokoh populer seperti Rhoma Irama, itu baru nyentrik. Itulah yang kini ditekuni Cipta Croft-Cusworth, anak muda kreatif dari Jakarta.—
DENGAN cekatan, Cipta mengeluarkan enam kemasan mainan dari kotak besi berwarna merah. Masing-masing dua kemasan bertulisan Setan Lokal dan Indo Psychos. Dua lainnya berlabel Living Legends dan Dead Patriots.
Untuk kotak Living Legends, di dalamnya terdapat figur berjubah putih, bercambang, dan membawa gitar. Ya, itulah figur Si Raja Dangdut Rhoma Irama. Di kategori Dead Patriots, terdapat figur sosok pria yang mengenakan jas hitam dan berpeci hitam dengan senyum khasnya. Dialah presiden terlama Indonesia, Soeharto.
Lalu, untuk kategori Indo Psychos, Cipta memiliki replika sosok-sosok kriminal legendaris seperti Ryan ”jagal” dari Jombang, Robot Gedek, serta si kanibal Sumanto.
”Figur Sumanto sejauh ini paling laku,” ujar Cipta ketika ditemui di Gandaria City, Jakarta, pekan lalu.
Sejak diperkenalkan di Jakarta Toys Fair, 7-8 Maret lalu, figur-figur unik ala GoodGuysNeverWin (GGNW) itu menjadi perbincangan hangat di media sosial. Figur-figur tersebut dianggap tidak lazim karena belum ada yang pernah membuat mainan berbentuk tokoh-tokoh lokal. Selama ini, figure maupun action figure yang dijual di pasaran merepresentasikan tokoh superhero, anime, atau sosok terkenal dunia.
Karena itu, figur-figur lokal karya Cipta tersebut dianggap ide baru. Meski, mainan ciptaan pria 36 tahun kelahiran London, Inggris, tersebut cukup kontroversial. Selain tokoh kriminal dan tokoh bangsa, Cipta melahirkan sosok-sosok mistis lokal seperti kuntilanak, genderuwo, dan leak bali.
”Figur Genderuwo ini favorit saya karena waktu kecil saya pernah melihat,” kata Cipta lantas terbahak.
Menurut dia, figure–figure karyanya tidak sebatas untuk mainan atau pajangan. Namun, dia juga menyelipkan misi di dalamnya. Melalui mainan replika tokoh-tokoh itu, orang bisa mengingat perjalanan bangsa Indonesia yang penuh warna. Karena itu, sejak awal Cipta sadar bahwa potensi kontroversi atas figur-figur ciptaannya tersebut sangat tinggi.
”Kalau seri Dead Patriots untuk mengenang jasa para tokoh bangsa, Indo Psychos mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap ancaman para penjahat. Bahwa orang-orang seperti mereka itu ada,” terangnya.
Pria blasteran Padang-Inggris tersebut berpendapat, kalau orang-orang mulai lupa pada sosok Sumanto, Ryan, atau Robot Gedek, bisa berbahaya. Sebab, ancaman tindak kejahatan bisa muncul sewaktu-waktu.
Saat disinggung soal keputusannya membuat figur mantan Presiden Soeharto, Cipta mengungkapkan, meski menyulut kontroversi, hingga kini pengikut Soeharto masih banyak. Apalagi gaya kepemimpinan Soeharto saat berkuasa cukup melekat di hati para loyalitasnya. Hal itu terlihat dari ungkapan-ungkapan presiden enam periode tersebut yang belakangan dimunculkan kembali untuk menunjukkan bahwa kehidupan pada zamannya lebih baik daripada era sekarang.
”Contohnya, tulisan Piye kabare, enak jamanku toh? Itu kan bukti pengikut Soeharto masih banyak dan loyal,” ungkap Cipta.
Memang, saat Cipta memutuskan untuk membuat figur Soeharto, selain Sang Fajar alias Soekarno dan Sang Pluralis alias Gus Dur, beberapa temannya sempat protes. Pasalnya, bagi sebagian masyarakat, Soeharto dinilai sebagai presiden yang buruk, otoriter, dan tamak. Meski begitu, Cipta tetap bersikeras karena Soeharto cukup mewarnai perjalanan sejarah Indonesia sampai mendapat predikat sebagai Bapak Pembangunan.
Untuk edisi pertama, lulusan Desain Komunikasi Visual Universitas Teknologi Sydney, Australia, itu tidak sembarangan dalam menentukan figur yang akan dibuat. Dia perlu waktu sebulan untuk riset. Selain empat kategori yang sudah jadi, dia menciptakan dua kategori lain, yakni TNI 2077 dan Robot Bionic Ugly.
Dalam risetnya, Cipta melakukan wawancara singkat kepada beberapa orang untuk mengetahui siapa saja figur yang layak dikoleksi. Dia juga menambah informasi dengan membaca berbagai literatur.
”Saya sampai tahu, kuntilanak dalam film horor Indonesia ternyata tidak sama dengan asal usul ceritanya,” ujarnya.
Informasi dari berbagai sumber itu lantas dituliskan Cipta dalam kemasan figur. Akhirnya, terpilih 16 figur yang diproduksi pada seri pertama GGNW. Setelah itu, baru dibuatkan cetakan figurnya. Cipta sendiri yang mengukir cetakan figur itu sebelum diisi dengan resin. Seluruh proses sampai pengecatan dilakukan secara manual oleh pekerja Cipta. ”Semua handmade,” tuturnya.
Untuk menjaga nilai mainannya, Cipta memproduksi figur secara terbatas. Setiap tokoh hanya dibuat 300 figur. Dia menuliskan nomor produksinya di balik kemasan. ”Untuk menjaga mutu dan nilai langkanya, saya tidak akan memproduksi lagi, meski permintaan banyak,” tegasnya.
”Jadi, sangat terbatas. Misalnya, figur Sumanto, itu paling laku. Tapi, saya tidak akan buat lagi untuk memenuhi permintaan pasar,” terangnya.
Produksi dalam jumlah terbatas itu juga menegaskan bahwa dia bukanlah desainer mainan yang materialistis. Cipta juga enggan menjual produknya melalui online shop. Bagi dia, bertemu langsung dengan pembeli, berjabat tangan, dan terjadi interaksi lebih berkesan. Karena itu, yang mau membeli mainan tersebut harus bertemu langsung dengan dirinya.
”Saya adalah seniman, bukan businessman. Mungkin style saya old school (kuno, Red). Tapi, melihat ketertarikan pembeli secara langsung, itu yang cool,” ungkapnya. Di samping itu, Cipta tidak ingin dianggap sebagai seniman yang mata duitan dengan mengobral karya.
Meski mendapat respons positif, dia menyadari bahwa ada satu kekurangan yang cukup mengganggu. Yakni, figur yang dikemas tidak mencantumkan nama tokoh-tokoh yang dibuatnya. Cipta tidak ingin melanggar hukum karena dituduh mencatut kepopuleran nama-nama tersebut.
Karena itu, untuk edisi Living Legends dan Dead Patriot, di kemasannya dituliskan nama gelar populer tokoh tersebut. Misalnya, Sang Fajar untuk figur Soekarno, Bapak Pembangunan (Soeharto), Sang Pluralis (Gus Dur), dan Satria Gitar (Rhoma Irama).
”Saya juga nggak mau menggunakan nama Satria Bergitar karena itu judul film. Ada copyright-nya,” ungkapnya.
Untuk Indo Psycho, Cipta tetap menggunakan nama asli atau nama populer si figur seperti Robot Gedek, Sumanto, dan Ryan The Singing Killer. Dia berharap figur-figur yang dibuatnya tidak mengundang masalah hukum karena tidak bermaksud menjelekkan tokoh-tokoh itu. Dia hanya ingin merekam perjalanan Indonesia melalui figur.
”Saya hampir menggunakan foto asli di kemasan. Tapi, ada warning. Langsung saya ubah,” tegasnya.
Cipta berencana membuat figur seri ke-2. Sudah ada beberapa masukan untuk tokoh-tokohnya. Termasuk, soal meminta izin kepada keluarga atau orang yang akan dibuat figurnya. Dia berharap pihak berwajib bisa dengan senang hati memberikan izin.
Apalagi, tegas dia, proyek figur tokoh-tokoh Indonesia itu tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Uang yang diterima dari penjualan mainan itu bakal dimasukkan lagi ke GGNW untuk memproduksi karya seni lainnya. Maklum, Cipta sudah memiliki pendapatan dari perusahaan pembuatan mainan tempatnya bekerja.
Cipta berharap respons positif figur buatannya menambah yakin bahwa dunia mainan Indonesia bisa berkembang lagi. Ada celah untuk bersaing dengan figur produksi Jepang, Amerika, atau Tiongkok. Karena itu, dia tidak berkeberatan bila karyanya ditiru.
”Berarti, saya dianggap punya ide yang bagus. Nggak apa-apa, orang tetap tahu ini karya orisinal saya,” katanya.(*/c5/ari)