Bosan dengan Rutinitas, Fauzie Helmy Populerkan Toys Photography

Tidak banyak fotografer yang memilih jalur non-mainstream untuk objek yang dijepretnya. Salah satunya Fauzie Helmy. Lewat foto, dia mampu memberikan “napas kehidupan” bagi mainan karya toys designer Indonesia maupun luar negeri.

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

SENJA mulai mewarnai langit Jogjakarta kala itu. Helmy gundah menanti jam penerbangan ke Jakarta. Untuk membunuh kejenuhan tersebut, dia keluar hotel untuk menyusuri Jalan Malioboro Di area favorit wisatawan itu, matanya tertambat pada sebuah patung penjual gudeg di toko suvenir.

Patung mainan tersebut cukup sederhana. Berupa sosok seorang perempuan sedang lesehan sambil menyiapkan nasi gudeg. Kepalanya agak mendongak dan bibirnya tersenyum ramah. Pikiran Helmy yang seorang penggemar toys photography langsung melayang menuju kawasan Tugu, tak jauh dari Malioboro. “Pasti menarik kalau suvenir ini difoto di dekat Tugu,” ujarnya.

Tiba di Tugu yang dibangun Sultan Hamengku Buwono I tersebut, Helmy tidak langsung memotret. Apalagi, lalu lintas di perempatan Tugu sore itu sangat ramai. Banyak kendaraan lalu lalang dengan kecepatan tinggi. Butuh strategi supaya dia punya jarak aman untuk memotret objek.

Helmy kemudian mengajak ngobrol tukang becak di sekitar Tugu. Interaksi tersebut dia anggap sebagai kulo nuwun atau meminta izin. Sekitar 15 menit berlalu, laki-laki kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, itu mengutarakan maksudnya untuk memotret mainan di dekat Tugu yang menjadi poros antara Keraton Jogjakarta dan Gunung Merapi tersebut.

Ketika kondisi memungkinkan, Helmy langsung bergerak cepat. Dia letakkan patung perempuan penjual gudeg itu di tengah jalan. Tak berapa lama, para tukang becak yang mangkal di sekitar lokasi ikut turun membantu mengatur lalu lintas. Dengan begitu, Helmy bisa leluasa mengatur posisi untuk mendapatkan gambar terbaik.

“Itu sering saya lakukan. Pendekatan persuasif itu luar biasa hasilnya,” katanya ketika ditemui di Mal Puri Indah, Jakarta Barat (12/2).

Bagi mantan head of fashion designer Spyderbilt USA-Planet Surf itu, memotret memang tidak sekadar menekan tombol shutter. Ada unggah-ungguh yang harus diperhatikan meski hanya memotret mainan. Dia yakin hal itu bisa membuat hasil foto lebih baik dan mainan yang difoto terkesan hidup. Pola yang sama juga dia lakukan saat memotret mainan berbentuk dua biksu di Kelenteng Hok Tek Bio, Salatiga.

Ketertarikan Helmy pada toys photography mulai muncul pada 2011. Saat itu dia merasakan kejenuhan menjalani profesi sebagai fotografer komersial. Puncaknya terjadi ketika dia mendapatkan proyek di sebuah restoran Kanada. Dia diminta mendesain logo, foto produk makanan, katalog, hingga perlengkapan komersial lainnya. Salah satunya mewujudkan keinginan pemilik restoran yang minta difotokan mainan sehingga punya karakter tersendiri. “Saya disodori dua mainan. Tolong dihidupkan, kata pemilik restoran,” kenangnya.

Bagi Helmy, itu merupakan pekerjaan rumah yang sangat berat. Maklum, baru kali pertama dia mendapatkan order memotret mainan dengan skala serius. Job diterima, tapi Helmy tidak bisa mendapatkan hasil foto yang diinginkan dengan cepat.

Selama tiga hari memotret, dua mainan tetap terlihat seperti plastik biasa. Selama satu bulan dia mengaku terus mencoba. Akhirnya, pria yang pernah menjabat head of designer & visual merchandiser brand Factor co USA itu menemukan trik yang bisa membuat mainan jadi lebih nyata. Hasilnya cukup memuaskan.

Pemilik restoran merasa puas karena foto mainan karya Helmy mampu bercerita dengan baik. Foto itu lalu diperbesar dan diperbanyak untuk kepentingan promosi restoran tersebut.

Helmy mengungkapkan, tidak pernah tebersit dalam pikirannya, job dari restoran Kanada itu membuka peruntungannya di dunia toys photography. Kalau kemudian sang desainer mainan restoran tersebut tertarik dengan karyanya, dia tak menyangka. “Toys designer-nya kontak saya, dia meminta izin untuk menggunakan foto karya saya untuk promo mainannya,” kata dia.

Sejak itulah Helmy makin asyik bergelut dengan karakter aneka mainan. Koneksi toys designer-nya juga makin luas. Tidak hanya ada di dalam negeri, tapi juga merambah ke berbagai negara lain seperti Amerika dan Tiongkok.

Namun, Helmy mengaku tidak mau asal memotret. Dia mensyaratkan diri bahwa karya foto mainannya harus berlatar belakang budaya atau lanskap Indonesia. Dia juga ingin mengenalkan kultur Indonesia melalui kameranya.

“Dari situ akhirnya saya bisa menghidupkan aneka mainan dengan tetap menampilkan karakter budaya Indonesia,” tuturnya.

Setelah jam terbangnya lumayan tinggi, Helmy mulai berani memamerkan karyanya kepada publik. Pada 2012 dia nekat menggelar pameran foto mainan di Inggris. Hasilnya positif. Karena itu, sepulang dari Negeri Ratu Elizabeth tersebut, Helmy mulai rajin menghelat pameran tunggal. Di antaranya di Sydney, Australia; dan New York, Amerika Serikat.

Sebuah perusahaan juga tertarik untuk mengolaborasikan fotografi mainan dengan penampilan band-band terkemuka. Tur lima kota pun dia jalani. Selain berkarya foto, Helmy mengenalkan seni fotografi mainan melalui buku foto karyanya, Dunia tanpa Nyawa. Banyak seniman dan toys designer yang ikut memberikan testimoni di buku pertama Helmy itu.

Menurut Helmy, untuk mendapatkan gambar yang sesuai dengan keinginan, fotografer mesti menguasai komposisi, pencahayaan, dan mengenal karakter mainan. Pemahaman karakter mainan akan berdampak pada kemampuan fotografer menghidupkan mainan melalui seni fotografi. “Dari situ saya menemukan trik-triknya,” ucap Helmy.

Maka, tak heran bila Helmy terus berupaya mencari informasi tentang mainan yang akan dijadikan objek fotonya. Biasanya dia menjalin komunikasi dengan desainer mainannya untuk mendapatkan hasil maksimal. Utamanya soal latar belakang karakter mainan itu. Dari situlah dia akhirnya bisa mengetahui kebutuhan properti yang harus disiapkan.

Ada cerita yang tidak akan mudah dilupakan Helmy. Saat kegilaannya pada foto mainan membuncah, dia kerap dianggap gila oleh orang-orang. Bagaimana tidak, saat mengambil gambar objek, dia mesti tengkurap di tengah jalan atau dengan pose-pose tidak lazim lainnya.

Ada juga yang geleng-geleng kepala saat tahu bahwa untuk memotret mainan itu, Helmy sampai pergi ke luar pulau. Di an­taranya ke Gunung Putri, Bogor; Candi Prambanan, Jogja; Rawa Pening, Ambarawa; Ubud, Bali; hingga Bandar Lampung.

Saat memotret di Bandar Lampung, Helmy sampai harus menyewa perahu agar bisa mencapai Pulau Tangkil dan memotret mainan berbentuk gurita yang diberi nama Perry. Dia mengaku tidak mau melakukan rekayasa foto untuk mendapatkan gambar menarik. Karena itu, dia mesti memotret di lokasi aslinya.

“Kalau foto itu direkayasa, kita tidak akan pernah bersentuhan dengan kultur di daerah. Saya juga sering mendapatkan banyak ilmu baru, terutama tentang sejarah. Juga nemu tempat-tempat indah,” terang Helmy yang ke mana-mana tidak lupa membawa kamera dan mainan sekaligus.

Belakangan, hobi dan profesinya sebagai fotografer mainan seolah kian lengkap setelah dia bertemu dengan komunitas toys photography. Helmy merasa senang karena yang “gila” pada bidang yang tidak lazim ternyata bukan hanya dirinya.

Respons positif juga datang dari perusahaan-perusahaan. Bila sebelumnya banyak memanfaatkan model, kini cukup dengan mainan. Biayanya jauh lebih murah. “Malah, ada sebuah perusahaan BUMN yang meminta dibuatkan foto kalender dengan konsep mainan,” ungkap dia.

Kini tiga tahun sudah Helmy menggeluti toys photography. Meski begitu, dia tidak berencana menjadikan bidang itu sebagai pekerjaan utama. Diakui, berkat foto-foto mainannya dia makin sibuk.

Hari-harinya sibuk dengan berbagai undangan untuk mengisi kegiatan berbau mainan dan fotografi. Padahal, dia berencana membuat seri berikutnya dari buku pertamanya tersebut. “Di buku kedua nanti saya ingin lebih nyentuh Indonesia. Mungkin ke Indonesia Timur. Saya ingin lebih mengenalkan wilayah Indonesia Timur dengan cara saya,” tekadnya. (*/c9/ari) 

Leave a Reply