Femke Den Haas; “Terdampar” di Indonesia demi Urusi Binatang

Sedih Lihat Orang Utan Dibantai untuk Kelapa Sawit

Tidak banyak orang, apalagi perempuan, yang rela meninggalkan negaranya hanya untuk merawat binatang. Namun, itu tak berlaku bagi Femke Den Haas. Selama sepuluh tahun, warga negara Belanda tersebut menghabiskan waktu di Indonesia untuk pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap tak penting itu. Siapa dia dan apa saja kegiatannya?

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

USIA kandungan tujuh bulan membuat perut Femke buncit. Namun, itu tidak membuat dia kehilangan kelincahan. Saat Jawa Pos menemuinya di kantornya, Jalan Kemang Timur, Jakarta Selatan, dia cukup energik untuk mengerjakan berbagai tugas. Termasuk, naik turun tangga dari kantornya di lantai 2.

Perempuan 34 tahun tersebut mengaku baru saja selesai mengurus pemindahan monyet. Sehari sebelumnya, dia malah berada di Kepulauan Seribu untuk melakukan vaksinasi dan sterilisasi kucing liar. Dia memelopori hal itu lantaran populasi kucing di Kepulauan Seribu sudah terlalu banyak.

“Kepulauan Seribu juga menjadi lokasi untuk menyelamatkan populasi elang bondol dan elang laut,” ujarnya. Dia juga memberikan pelatihan daur ulang sampah kepada warga setempat. Itulah alasan dia sering bolak-balik Jakarta-Kepulauan Seribu meski perutnya terus membesar.

Kecintaan terhadap binatang dan alam membuat dia tetap bersemangat setiap saat. Bukan hanya itu, Kamis lalu (17/11) dia juga melawat ke Surabaya. Femke mengunjungi Kebun Binatang Surabaya (KBS). Tujuannya, melihat lebih dekat perkembangan satwa di kebun binatang yang pengurusnya tak henti-henti terlibat konflik tersebut. Termasuk, meng-update informasi mengenai pengelolaan KBS yang masih karut-marut.

Orang-orang di sekitarnya kerap khawatir dengan kondisinya. Bukan cuma masalah hamil dan kegigihannya dalam bekerja, melainkan kesehatan bayi di kandungan itu yang lebih mengkhawatirkan.

Femke mengatakan, banyak yang mengkhawatirkan bayinya bakal tertular penyakit jika dirinya terus bersentuhan dengan hewan. Misalnya, toxoplasma. Penyakit yang biasanya dibawa kucing atau anjing tersebut bisa mengakibatkan bayi cacat. “Tidak masalah. Sebab, saya selalu cuci tangan. Toxo itu dari feses, saya tidak pegang itu,” imbuh dia.

Dokter hewan (veterinary nurse) lulusan Leiden University, Belanda, tersebut juga menyatakan tidak menggunakan berbagai vaksin untuk kehamilannya. Perempuan bersuami orang Indonesia itu tidak ingin ada jarak antara dirinya dan binatang. Apalagi, di rumahnya juga ada 19 binatang. Yakni, seekor anjing berusia 16 tahun yang dia bawa dari Belanda, enam anjing biasa, dan 12 kucing hasil penyelamatan.

Femke lantas menceritakan alasannya sangat tertarik dengan binatang. Semuanya berawal saat dia masih berusia sekitar enam tahun. Ketika itu dia dan keluarga yang sedang berada di salah satu pantai di Spanyol mendapati seekor kucing terluka. Hewan mamalia tersebut terjepit kayu dan sekarat.

Femke kecil langsung menangis begitu melihat hewan yang mulai tidak berdaya itu mengerang. Dia lantas meminta orang tuanya segera menyelamatkan kucing tersebut. Namun sia-sia, orang tua Femke menolak dengan alasan bahwa kucing itu hendak mati.

Sejak itu, dia terus kepikiran, betapa malang kucing tersebut karena telat diselamatkan dan mati. Femke lantas tumbuh menjadi sosok yang sangat cinta binatang. Dia tidak ingin lagi ada binatang yang tersakiti dan tidak dihargai. “Usia delapan tahun, saya sudah tidak makan daging,” ungkapnya, lantas tersenyum.

Prinsipnya, manusia bisa hidup berdampingan dengan binatang tanpa saling menyakiti. Manusia hidup, binatang juga hidup. Dengan keyakinan itu, alam akan menjadi lebih baik. Pandangan itu pula yang membuat dia mulai bekerja sosial untuk binatang di Belanda. Tugasnya adalah menyelamatkan binatang yang tertabrak kendaraan.

Sekitar 1996, ayahnya yang bekerja di Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia mengajaknya ikut serta ke wilayah tugasnya. Dia mempelajari berbagai hal tentang kekayaan fauna di bumi pertiwi ini. Salah satu yang menurut dia paling menarik adalah primata, terutama orang utan. “Karena itu, saya pengin banget jadi sukarelawan orang utan di Kalimantan,” tuturnya.

Begitu sampai di Indonesia, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengirim aplikasi ke Kalimantan Wanariset Orangutan demi proyek rehabilitasi. Femke beruntung karena aplikasinya diterima. Namun, dia tidak lantas bertolak ke Kalimantan karena masih harus bersitegang dengan ayahnya.

“Femke, kenapa harus menghentikan sekolah juga?” ucapnya, menirukan perkataan ayahnya yang tidak setuju kala itu.

Femke tetap pada pendiriannya. Bagi dia, menghentikan semua kegiatan, termasuk pendidikan di sekolah, sebanding dengan hasil yang bakal didapatnya. Setelah mendapat izin, dia mengikuti program penyelamatan orang utan. Selama empat bulan, dia tinggal di hutan dan melepaskan sekelompok hewan primata tersebut.

Setelah itu, dia kembali ke Belanda, mengambil studi paramedis hewan empat tahun di Leiden University. Setelah itu, dia melanjutkan pendidikan dengan mengambil kursus untuk satwa liar di Utrecht dan bekerja di sana. Kali ini dia bekerja menangani satwa selundupan yang masuk ke negara Ratu Beatrix tersebut.

Nah, pekerjaan itulah yang membuat dia ingin kembali ke Indonesia. Sebab, banyak penyelundupan yang melibatkan hewan dari Indonesia, seperti primata jenis kukang dan monyet. Keinginan tersebut terwujud setelah dia menyelesaikan tugas bekerja di Afrika untuk konservasi simpanse dan Animal Shelter di Yunani pada 2002.

Pada Agustus 2002 kakinya kembali menginjak bumi Indonesia. Itu terjadi atas undangan Pusat Primata Schmutzer (PPS) Kebun Binatang Ragunan. Kebetulan, dia mengenal pendiri PPS Pauline Antoinette Schmutzer-versteegh sebelum sosok itu meninggal pada 1998. “Diundang untuk membentuk standardisasi pusat primata,” ungkapnya.

Pikir dia saat itu, dirinya hanya satu tahun berada di Indonesia. Tetapi ternyata, ada yang tertarik untuk menggunakan jasanya. Yakni, Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tegal Alur, Cengkareng, Tangerang. Tugasnya khusus mengurus hewan-hewan sitaan dari perdagangan gelap.

Pekerjaan tersebut sangat berat. Digambarkan Femke, dirinya benar-benar mengorbankan seluruh waktu untuk mengurus binatang. Yang paling membuat Femke mengelus dada adalah sempitnya lahan PPS Tegal Alur. Terlalu sempit untuk menampung ribuan satwa. “Dari situ, muncul konservasi di Kepulauan Seribu,” jelasnya.

Femke semakin “betah” di Indonesia setelah 3,5 tahun di PPS Tegal Alur dan mendirikan Jakarta Animal Aid Networks (JAAN) pada 2008. Bagi dia, ibu kota memiliki masalah binatang paling banyak. Beberapa isu yang diangkat ketika JAAN berdiri adalah kuda untuk andong.

Femke bukan tidak setuju dengan alat transportasi itu. Tetapi, dia melihat, banyak pemilik andong yang kurang paham merawat kuda. Misalnya, kuku kuda dibiarkan panjang hingga luka yang dirawat, tetapi dengan pengobatan secara kejam. “Ada yang mengobati luka dengan membakarnya pakai serbuk hitam baterai,” kenangnya, lantas mengembuskan napas panjang.

Tidak mudah memang membuat para pemilik andong mengerti. Tetapi, akhirnya pemilik andong mau menerima JAAN. (c11/nw)

Leave a Reply